Jika diibaratkan sebuah perkawinan, Manajemen Pengetahuan atau Knowledge Management (KM) saat ini sudah melewat masa “bulan madu”-nya. Tahun 1980an, ketika istilah KM mulai populer, adalah masa “pacaran”. Tahun 1990an adalah masa “bulan madu” -masa gemilang ketika konsep dan praktik yang berhubungan dengan KM menjadi pembicaraan semua orang, dan semua orang yang bicara tentang KM selalu terlihat sebagai orang-orang yang cemerlang, bahkan sering dianggap berkualitas “dewa” seperti di cerita-cerita silat, bukan sekedar “guru” atau “suhu” lagi.
Kini, “perkawinan” itu sudah meninggalkan saat penuh pesta dan asyik masuk, memasuki masa sehari-hari yang mungkin mulai memperlihatkan berbagai penyesuaian dan realita yang belum tentu indah lagi. Siapa pun yang pernah terlibat perkawinan pastilah mengerti maksud kalimat ini! đ Sebagai sebuah disiplin dan objek penelitian, KM memang adalah “perkawinan antar teori”, dan saat ini mulai terlihat keraguan berbagai pihak tentang apa sebenarnya yang sebenarnya “mengikat” berbagai teori tersebut di dalam sebuah perkawinan inter-disipliner ini. Apa sebenarnya “inti” dari KM, dan bidang ilmu apa yang dapat dianggap paling dominan dalam riset tentang KM?
Untuk pihak pengembang teknologi informasi, KM sudah lama dikaitkan dengan fungsi sistem informasi dalam perencanaan strategis (strategic planning). Maka seringkali KM ada di kajian-kajian tentang Information Systems Strategic Planning (ISSP). Dalam konteks ini, sebuah sistem informasi dianggap sebagai bagian dari proses manajemen untuk mencapai tujuan-tujuan organisasi, dan KM ada di dalam proses yang antara lain mengandung perencanaan dan pemelajaran organisasi (organizational learning) itu. Perkembangan pesat dalam telematika, terutama yang memanfaatkan Internet, telah meningkatkan aplikasi sistem informasi dalam bisnis dan manajemen sehingga ISSP menjadi amat penting untuk memastikan bahwa belanja teknologi benar-benar menguntungkan bagi sebuah perusahaan. Di sini, knowledge (pengetahuan) jelas terlihat sebagai “modal” (asset) dan sesuatu yang memberikan keuntungan strategis bagi sebuah bisnis.
Persepsi tentang pengetahuan sebagai modal ini tentu saja segera terkait dengan ilmu ekonomi. Dari sisi pandang ekonomi, “pengetahuan” menjadi sesuatu yang nyata dan terukur, berupa sesuatu yang berwujud objek (objectified knowledge). Ini bukanlah hal baru, sebab sejak lama ilmu ekonomi dan teori-teori organisasi sudah bicara tentang paten, hak cipta, informasi harga, modal organisasional, pengetahuan tentang pasar, data bisnis, dan sebagainya. Pada umumnya, pengetahuan sebagai modal yang kongkrit (tangible asset) bukanlah barang baru dalam dunia bisnis. Demikian pula, sejak lama teori manajemen berkutat dengan pengaturan kerja dalam rangka koordinasi pengetahuan yang tersimpan di kepala masing-masing pegawai. Sekarang kita mengenali pengetahuan semacam ini sebagai modal yang tak terlihat (intangible asset).
Pendek kata, KM bukanlah sesuatu yang baru jika dilihat sebagai pengelolaan pengetahuan dalam rangka strategi organisasi, tujuan-tujuan ekonomi, atau pelaksanaan prinsip manajemen. Tidak pula dapat dikatakan bahwa teori organisasi dan manajemen merupakan teori KM.
Ada juga upaya “membelokkan” KM dari teori organisasi dan ekonomi atau manajemen, misalnya yang dilakukan Spender (2003). Ia mengajak kita memperhatikan aspek ketidakpastian dan emosi yang dialami para manajer ketika mereka mengelola sebuah organisasi dalam upaya mencapai tujuannya. Ia mengatakan, “Uncertainty, managersâ frequent companion as they guide firms towards anticipated goals, is poorly dealt with in theories of the firm. If knowledge is to be treated as the most strategic of assets, we must consider its relation to uncertainty..”
Dengan pernyataan tersebut, Spender mengaitkan “pengetahuan” dengan “kepastian” dan manusia cenderung ingin selalu mendapatkan kepastian. Dalam konteks organisasi dan bisnis, kepastian amat diperlukan demi meraih tujuan atau mencapai sasaran. Di sini masuk pemikiran tentang “sistem yang bertujuan” dan Spender mengaitkan kondisi ketidakpastian dengan emosi. Jadi, dengan asumsi seperti ini, maka KM sebenarnya juga berurusan dengan manajemen emosi! Mungkin dari sini kita dapat pula bicara tentang EQ selain IQ đ Atau secara lebih luas, KM kemudian terlihat wajar jika diletakkan dalam domain psikologi. Bukan saja “pengetahuan” itu dapat segera dikaitkan dengan kondisi kognitif seseorang, tetapi juga dengan situasi organisasi, budaya kerja, hubungan antar pegawai, dan seterusnya.
Dalam konteks organisasi pula, KM dapat dilihat sebagai bagian dari proses dan praktik yang mengandung kegiatan belajar. Sebagaimana dikentarai oleh Gray dan Meister (2003),
It is time for KM to reconcile with organizational learning (OL)… researchers have made considerable progress towards the development of a conceptual core (albeit populated by diverse theoretical approaches) and the articulation of consensus opinions as to key OL phenomena… OL concerns the processes of learning, while KM focuses more on the knowledge that results from learning and how that knowledge is subsequently applied towards achieving organizational goals.
Setiap organisasi mengandung kegiatan mencapai tujuan, dan setiap kegiatan mencapai tujuan itu mengandung aktivitas belajar untuk memperoleh pengetahuan. Tentu saja, asumsi ini amat menarik jika diletakkan di dalam kondisi perubahan yang terus menerus. Pada saat lingkungan eksternal mengalami turbulensi, setiap organisasi akan berusaha belajar dan memahami setiap perubahan agar dapat menyesuaikan tindakannya demi mencapai tujuan. Persepsi tentang lingkungan yang chaotic dan pengakuan bahwa “semua berubah, kecuali perubahan itu sendiri”, menjadikan kaitan antara KM dan OL sangat menarik!
Sebuah penelitian oleh Cegarra-Navaro dan Dewhurst (2006), misalnya, menemukan bahwa kondisi eksternal dapat mendorong sebuah organisasi untuk menyesuaikan diri dengan terlebih dahulu melakukan proses belajar. Kemampuan sebuah organisasi dalam belajar inilah yang dapat dianggap sebagai modal intelektual organisasi tersebut. Terlebih lagi, lingkungan internal sebuah organisasi akan menentukan apakah organisasi itu dapat belajar dan menciptakan pengetahuan yang memadai untuk beradaptasi dengan lingkungan yang terus berubah.
Pemikiran-pemikiran tentang KM, OL, dan penyesuaian antara lingkungan eksternal dan internal ini pastilah akan mengingatkan kita pada konsep tentang sistem yang kompleks (complex system) dan mendorong ke kesimpulan bahwa KM sebenarnya ada di domain Teori Sistem.
Atau, kita dapat juga menyimpulkan bahwa KM ternyata tidak berada di domain mana pun. Dan pertanyaan yang muncul di awal tulisan ini –Apa sebenarnya “inti” dari KM?– rupanya belum mendapat jawaban yang memuaskan đ
Bacaan:
Cegarra-Navarro, J.G. dan Dewhurst, F.W. (2006), “Linking shared organisational context and relational capital through unlearning: An initial empirical investigation in SMEs” dalam The Learning Organization Vol. 13 No. 1, hal. 49-62.
Gray, P.H., dan Meister, D.B. (2003), “Introduction: fragmentation and integration in knowledge management research” dalam Information Technology & People, Vol. 16 No. 3, hal. 259-265
Spender, J. -C. (2003), “Exploring uncertainty and emotion in the knowledge-based theory of the firm”, dalam Information Technology & People, Vol. 16 No. 3, hal. 266-288.