Ilmu Perpustakaan & Informasi

diskusi dan ulasan ringkas

Posts Tagged ‘Complex systems’

KM – Seusai Bulan Madu

Posted by putubuku pada Agustus 13, 2008

Jika diibaratkan sebuah perkawinan, Manajemen Pengetahuan atau Knowledge Management (KM) saat ini sudah melewat masa “bulan madu”-nya. Tahun 1980an, ketika istilah KM mulai populer, adalah masa “pacaran”. Tahun 1990an adalah masa “bulan madu” -masa gemilang ketika konsep dan praktik yang berhubungan dengan KM menjadi pembicaraan semua orang, dan semua orang yang bicara tentang KM selalu terlihat sebagai orang-orang yang cemerlang, bahkan sering dianggap berkualitas “dewa” seperti di cerita-cerita silat, bukan sekedar “guru” atau “suhu” lagi.

Kini, “perkawinan” itu sudah meninggalkan saat penuh pesta dan asyik masuk, memasuki masa sehari-hari yang mungkin mulai memperlihatkan berbagai penyesuaian dan realita yang belum tentu indah lagi. Siapa pun yang pernah terlibat perkawinan pastilah mengerti maksud kalimat ini! 🙂 Sebagai sebuah disiplin dan objek penelitian, KM memang adalah “perkawinan antar teori”, dan saat ini mulai terlihat keraguan berbagai pihak tentang apa sebenarnya yang sebenarnya “mengikat” berbagai teori tersebut di dalam sebuah perkawinan inter-disipliner ini. Apa sebenarnya “inti” dari KM, dan bidang ilmu apa yang dapat dianggap paling dominan dalam riset tentang KM?

Untuk pihak pengembang teknologi informasi, KM sudah lama dikaitkan dengan fungsi sistem informasi dalam perencanaan strategis (strategic planning). Maka seringkali KM ada di kajian-kajian tentang Information Systems Strategic Planning (ISSP). Dalam konteks ini, sebuah sistem informasi dianggap sebagai bagian dari proses manajemen untuk mencapai tujuan-tujuan organisasi, dan KM ada di dalam proses yang antara lain mengandung perencanaan dan pemelajaran organisasi (organizational learning) itu. Perkembangan pesat dalam telematika, terutama yang memanfaatkan Internet, telah meningkatkan aplikasi sistem informasi dalam bisnis dan manajemen sehingga ISSP menjadi amat penting untuk memastikan bahwa belanja teknologi benar-benar menguntungkan bagi sebuah perusahaan. Di sini, knowledge (pengetahuan) jelas terlihat sebagai “modal” (asset) dan sesuatu yang memberikan keuntungan strategis bagi sebuah bisnis.

Persepsi tentang pengetahuan sebagai modal ini tentu saja segera terkait dengan ilmu ekonomi. Dari sisi pandang ekonomi, “pengetahuan” menjadi sesuatu yang nyata dan terukur, berupa sesuatu yang berwujud objek (objectified knowledge). Ini bukanlah hal baru, sebab sejak lama ilmu ekonomi dan teori-teori organisasi sudah bicara tentang paten, hak cipta, informasi harga, modal organisasional, pengetahuan tentang pasar, data bisnis, dan sebagainya. Pada umumnya, pengetahuan sebagai modal yang kongkrit (tangible asset) bukanlah barang baru dalam dunia bisnis. Demikian pula, sejak lama teori manajemen berkutat dengan pengaturan kerja dalam rangka koordinasi pengetahuan yang tersimpan di kepala masing-masing pegawai. Sekarang kita mengenali pengetahuan semacam ini sebagai modal yang tak terlihat (intangible asset).

Pendek kata, KM bukanlah sesuatu yang baru jika dilihat sebagai pengelolaan pengetahuan dalam rangka strategi organisasi, tujuan-tujuan ekonomi, atau pelaksanaan prinsip manajemen. Tidak pula dapat dikatakan bahwa teori organisasi dan manajemen merupakan teori KM.

Ada juga upaya “membelokkan” KM dari teori organisasi dan ekonomi atau manajemen, misalnya yang dilakukan Spender (2003). Ia mengajak kita memperhatikan aspek ketidakpastian dan emosi yang dialami para manajer ketika mereka mengelola sebuah organisasi dalam upaya mencapai tujuannya. Ia mengatakan, “Uncertainty, managers’ frequent companion as they guide firms towards anticipated goals, is poorly dealt with in theories of the firm. If knowledge is to be treated as the most strategic of assets, we must consider its relation to uncertainty..”

Dengan pernyataan tersebut, Spender mengaitkan “pengetahuan” dengan “kepastian” dan manusia cenderung ingin selalu mendapatkan kepastian. Dalam konteks organisasi dan bisnis, kepastian amat diperlukan demi meraih tujuan atau mencapai sasaran. Di sini masuk pemikiran tentang “sistem yang bertujuan” dan Spender mengaitkan kondisi ketidakpastian dengan emosi. Jadi, dengan asumsi seperti ini, maka KM sebenarnya juga berurusan dengan manajemen emosi! Mungkin dari sini kita dapat pula bicara tentang EQ selain IQ 🙂 Atau secara lebih luas, KM kemudian terlihat wajar jika diletakkan dalam domain psikologi. Bukan saja “pengetahuan” itu dapat segera dikaitkan dengan kondisi kognitif seseorang, tetapi juga dengan situasi organisasi, budaya kerja, hubungan antar pegawai, dan seterusnya.

Dalam konteks organisasi pula, KM dapat dilihat sebagai bagian dari proses dan praktik yang mengandung kegiatan belajar. Sebagaimana dikentarai oleh Gray dan Meister (2003),

It is time for KM to reconcile with organizational learning (OL)… researchers have made considerable progress towards the development of a conceptual core (albeit populated by diverse theoretical approaches) and the articulation of consensus opinions as to key OL phenomena… OL concerns the processes of learning, while KM focuses more on the knowledge that results from learning and how that knowledge is subsequently applied towards achieving organizational goals.

Setiap organisasi mengandung kegiatan mencapai tujuan, dan setiap kegiatan mencapai tujuan itu mengandung aktivitas belajar untuk memperoleh pengetahuan. Tentu saja, asumsi ini amat menarik jika diletakkan di dalam kondisi perubahan yang terus menerus. Pada saat lingkungan eksternal mengalami turbulensi, setiap organisasi akan berusaha belajar dan memahami setiap perubahan agar dapat menyesuaikan tindakannya demi mencapai tujuan. Persepsi tentang lingkungan yang chaotic dan pengakuan bahwa “semua berubah, kecuali perubahan itu sendiri”, menjadikan kaitan antara KM dan OL sangat menarik!

Sebuah penelitian oleh Cegarra-Navaro dan Dewhurst (2006), misalnya, menemukan bahwa kondisi eksternal dapat mendorong sebuah organisasi untuk menyesuaikan diri dengan terlebih dahulu melakukan proses belajar. Kemampuan sebuah organisasi dalam belajar inilah yang dapat dianggap sebagai modal intelektual organisasi tersebut. Terlebih lagi, lingkungan internal sebuah organisasi akan menentukan apakah organisasi itu dapat belajar dan menciptakan pengetahuan yang memadai untuk beradaptasi dengan lingkungan yang terus berubah.

Pemikiran-pemikiran tentang KM, OL, dan penyesuaian antara lingkungan eksternal dan internal ini pastilah akan mengingatkan kita pada konsep tentang sistem yang kompleks (complex system) dan mendorong ke kesimpulan bahwa KM sebenarnya ada di domain Teori Sistem.

Atau, kita dapat juga menyimpulkan bahwa KM ternyata tidak berada di domain mana pun. Dan pertanyaan yang muncul di awal tulisan ini –Apa sebenarnya “inti” dari KM?– rupanya belum mendapat jawaban yang memuaskan 🙂

Bacaan:

Cegarra-Navarro, J.G. dan Dewhurst, F.W. (2006), “Linking shared organisational context and relational capital through unlearning: An initial empirical investigation in SMEs” dalam The Learning Organization Vol. 13 No. 1, hal. 49-62.

Gray, P.H., dan Meister, D.B. (2003), “Introduction: fragmentation and integration in knowledge management research” dalam Information Technology & People, Vol. 16 No. 3, hal. 259-265

Spender, J. -C. (2003), “Exploring uncertainty and emotion in the knowledge-based theory of the firm”, dalam Information Technology & People, Vol. 16 No. 3, hal. 266-288.

Posted in Manajemen, Organisasi | Dengan kaitkata: , | 4 Comments »

Menengok ke Kibernetika

Posted by putubuku pada Mei 8, 2008

Sehari-hari, kita sekarang sudah sangat akrab dengan istilah-istilah ‘proses’ atau ‘pengolahan’ yang langsung kita asosiasikan dengan ‘masukan’ dan ‘luaran’ sebagai bagian dari sebuah ‘sistem’. Kita juga memakai kata ‘kendali’ atau ‘kontrol’ dan mengaitkannya dengan ‘komando’ atau ‘perintah’. Demikian pula kata ‘tujuan’ atau ‘sasaran’ yang kita kaitkan dengan ‘kinerja’. Kata-kata itu juga bertaburan di dunia perpustakaan dan informasi. Bukanlah hal yang asing kalau kita bicara tentang ‘pengolahan dokumen’ (document processing) atau ‘kinerja sistem’ (system performance). Sehari-hari kita juga menggunakan istilah ‘kosakata terkendali’ (controlled vocabulary) atau ‘perintah’ (command) dalam pembicaraan tentang sistem simpan dan temu-kembali.

Kapan sebenarnya kita pada awalnya menggunakan kata-kata itu?

Istilah-istilah tersebut menjadi perhatian para akademisi pada tahun 1940an dan 1950an. Di masa itu, ilmuwan mulai serius mengutak-atik istilah di atas melalui serangkaian seminar yang diselenggarakan Macy Foundation dengan tajuk Circular Causal and Feedback Mechanisms in Biological and Social Systems. Berbagai ilmuwan dari berbagai bidang ikut terlibat dan mengajukan berbagai pikiran. Tercatat misalnya, McCulloch, Norbert Wiener, Gregory Bateson, Margaret Mead, dan Ross Asbhy.

Para pemikir dan akademisi dan pihak yang menyelenggarakan seminar Macy itulah yang pada awalnya mulai mempopulerkan sebuah disiplin yang diberi nama cybernetics, mengambilnya dari bahasa Yunani, kybernetes (yang berarti steersman alias pengendali atau mungkin juga dapat diterjemahkan sebagai nakoda atau supir). Pada 1948, Wiener menerbitkan karya klasik Cybernetics:  Control and Communication in the Animal and Machine, dan seminar Macy pun diberi judul Conferences on Cybernetics, dan cybernetics pada awalnya disebut ‘art and science’ dan yang berkaitan dengan ‘pengaturan’ (governance)  sistem manusia.

Salah satu penggerak seminar Macy, Ross Ashby, mendefinisikan cybernetics sebagai kajian tentang segala bentuk mesin atau ‘all possible machines’. Kata ‘mesin’ di sini merujuk ke segala entitas yang mengandung mekanisme tertentu, termasuk di dalamnya mekanisme biologis. Dalam bukunya, An Introduction to Cybernetics, Ashby menggunakan notasi set theory untuk menggambarkan berbagai konsep seperti perubahan, stabilitas dan regulasi dalam sistem yang rumit (complex systems). Salah satu formulasi sederhana tetapi amat ampuh yang merupakan inti dari cybernetics adalah konsep ‘proses’ dan ‘produk’. Kedua konsep ini dapat diterjemahkan menjadi metodologi dan model, serta dapat diberlakukan di segala hal. Artinya, kibernetika melakukan klaim menyeluruh bahwa segala sesuatu  -termasuk manusia-  adalah sistem yang terdiri dari proses dan produk.

Buku asli Ashby ini sekarang dapat diperoleh dalam bentuk digital di http://pespmc1.vub.ac.be/ASHBBOOK.html. Di situs induknya, kita dapat pula menemukan berbagai buku yang merupakan pondasi kibernetika. Silakan tengok ke sana kalau Anda berminat.

Sejak awal kelahirannya, sebagai sebuah disiplin kibernetika memiliki dua ciri umum, yaitu:

  • Interdisipliner, sebagai bahasa induk alias lingua franca antar disiplin. Ambisi kibernetika adalah menghimpun berbagai disiplin untuk menggunakan model yang serupa, baik untuk kepentingan rekayasa (engineering), biologi, urat syaraf, ekonomi, psikologi, dan sebagainya. Semua bidang ini dapat membuat model tentang proses dan produk. Juga boleh menggunakan istilah yang sama. Misalnya ‘memory’ bisa dipakai dalam penyimpanan data maupun dalam biologi, dan ‘remembering’ di psikologi boleh dipakai sebagai ‘retrieval’ di ilmu informasi.
  • Transdisipliner, model dan terminologi kibernetika dihimpun menjadi konsep-konsep yang saling berkaitan, menjadi semacam ‘window of the world’. Menurut kibernetika, segala hal di dunia yang fana ini dapat dilihat sebagai fenomena yang mengandung ‘duet’, misalnya kendali & komunikasi, belajar & adaptasi, organisasi-diri & evolusi.  Otak mahluk hidup dan masyarakat dilihat sebagai sistem hirarkis dan heterarkis (heterarchical), baik yang berisi maupun tidak berisi pengendali umum. Semua proses di semesta ini dapat dianggap sebagai pararel, sinkron, atau non-sinkron.

Pengaruh pandangan kibernetika ini amat merasuk. Tidak terkecuali, Ilmu Perpustakaan dan Informasi juga ikut kerasukan. Baca saja halaman tentang ‘Interdisiplin’ di blog ini (https://iperpin.wordpress.com/interdisiplin/). Kentara sekali pengaruh kibernetika di situ, ya?!

Selain merasuki berbagai bidang, kibernetika tentu juga dirasuki banyak pikiran. Kita dapat mencatat pemikiran Alfred O. Korzybski yang mengusulkan teori ‘general semantics‘. Di dalam bukunya yang terkenal  Science and Sanity (1933, 1958, hal. 12), ia menulis

Language… represents the highest and lates physiological and neurological function of an organism. It is … uniquely human circular structure, to use a logical term – or a of spiral structure, to use a four dimensional or a physico-chemical-aspect term … In these processes an ‘effect’ becomes a causative factor for future effects, influencing them in a manner particularly subtle, variable, flexible, and of an endless number of possibilities. ‘Knowing’, if taken as an end-product, must be considered also as a causative psychopysiological factor of the next stage of the semantic response… This structural and functional circularity introduces real difficulties… Before we can be fully human…, we must first to know ho to handle our nervous responses  – a circular affair

Korzybski bersikukuh bahwa sistem apa pun di semesta ini sebenarnya mengandung ‘bahasa’ dan dengan demikian mengandung pula ‘semantik’. Bahasa ini ‘tertanam’ di dalam sistem fisik maupun syaraf yang menggerakkan sebuah organisme. Ciri khas dari bahasa ini adalah bentuknya yang melingkar (circular) atau spiral. Misalnya, bentuk melingkar itu terlihat kalau kita hendak mengartikan sebuah kata. Bahasa apa pun di dunia ini selalu mengartikan kata dengan kata lainnya, dan kalau kita ikuti terus artian itu, maka kita akan berputar-putar saja. Bukalah sebuah kamus. Kata ‘pohon’ diartikan dengan ‘tumbuhan yang berdahan’, dan kata ‘dahan’ lalu diartikan dengan ‘bagian dari pohon’. 

Sumbangan pandangan Korzybski juga amat berpengaruh dalam diskusi tentang makna, sebab itu teorinya disebut ‘teori umum tentang makna’. Teori ini membahas apa yang kita maksud dengan ‘mengetahui sesuatu’ (to know), apa yang dimaksud epistemologi, bagaimana mahluk menjadi tahu (the knower) dan apa saja yang bisa diketahui. Kelak teori inilah yang mendorong kelahiran apa yang dikenal dengan nama second-order cybernetics, yaitu kibernetika yang peduli tentang epistemologi pihak yang diobservasi (epistemology of the observer).

Jelas pula, pengaruh Korzybski amat kuat dalam Ilmu Perpustakaan dan Informasi, terutama dalam cara ilmu ini memandang data, informasi, dan pengetahuan. Beberapa artikel di blog ini sudah membahas pengertian ‘informasi’ dari berbagai sudut. Misalnya, Apa Sesungguhnya Sistem Informasi dan Terinformasi dan/atau Berpengetahuan. Nampak sekali bahwa pandangan-pandangan di kedua artikel itu dipengaruhi oleh kibernetika dan teori makna. Untuk bacaan lebih lanjut tentang pandangan-pandangan Korzybski, silakan tengok situs-situs ini:

Tidak berapa lama bertautan dengan kesibukan seminar Macy tentang kibernetika dan diskusi-diskusi oleh Korzybski tentang ‘makna’, seorang ilmuwan bernama Ludwig Von Bertalanffy mengusulkan sebuah teori tentang sistem. Kalau Korzybski bicara tentang makna dan sistem internal organisme, maka von Bertalanffy menekankan pada upaya pengembangan pengertian umum tentang sistem (general system theory atau sering disingkat GST) untuk menjelaskan bentuk dari sebuah sistem.  Dalam perkembangan selanjutnya, GST terus berusaha menjadi taksonomi bagi berbagai sistem. Di kalangan ilmuwan yang suka berdiskusi tentang GST atau ‘ilmu sistem’, kibernetik sering dianggap sebagai sub-disiplin tentang proses kendali dan komunikasi. Ada juga anggapan di awal, bahwa GST dan kibernetika sebenarnya sinonim. Ross Ashby menyimpulkan dengan kata-kata:

cybernetics might in fact be defined as the study of systems that are open to energy but closed to information and control – systems that are ‘information tight’ (Ashby, 1956).

Penting diperhatikan di sini penggunaan kata ‘informasi’ di ucapan Ashby tersebut. Ia memakai kata ‘informasi’ yang sedikit berbeda dari pengertian dalam ‘information processing’ (yang terakhir ini dianggap lebih menyoal data processing, transmisi data, dan transformasi dari satu pola data ke pola data lainnya). Pengertian ‘informasi’ Ashby juga berbeda dari pengertian Shannon & Weaver (pengukuran sebuah ‘pesan’), atau dari Stonier (ukuran tentang seberapa ‘tertata’-nya sebuah sistem).

Penggunaan istilah informasi oleh Ashby pada dasarnya sama dengan pengertian yang dipakai oleh tiga pemikir berikutnya, yaitu:

  • Bateson (1972) dalam aphorism-nya “Information is a difference that makes a difference”
  • Konroski (1962), “Information cannot be separated from its utilisation”, dan
  • von Foerster (1970, 1973), “The environment contains no information; it is as it is”.

Dengan kata lain, menurut kibernetika atau GST, sebuah organisme atau sebuah sistem tidak ‘menerima informasi’ secara pasif sebagai sesuatu yang dikirim dari luar kepadanya. Sebuah organisme adalah sebuah circularly organised system alias sistem yang tertata secara melingkar (sesuai pandangan Korzybski). Artinya lagi, sebuah organisme selalu menginterpretasi atau memberi makna secara aktif terhadap sekelilingnya. Jika organisme ini melihat ada gangguan (pertubations), maka gangguan itulah yang dianggap bersifat informatif. Dalam definisi informasi seperti inilah kita lihat kemunculan salah satu konsep kunci yang mengarah ke second-order dan epistemology of the observer.

Seperti apa pandangan second-order cybernetics? Wah.. perlu artikel terpisah, nih 🙂

 

Posted in Ilmu informasi, Manajemen, Organisasi | Dengan kaitkata: | 2 Comments »