Ilmu Perpustakaan & Informasi

diskusi dan ulasan ringkas

Archive for the ‘Manajemen’ Category

Who you know is what you know

Posted by putubuku pada Februari 8, 2009

Kalau dipikir-pikir, sebagian besar pengetahuan yang sekarang kita miliki adalah hasil pergaulan dengan orang-orang yang relatif dekat. Hanya sebagian kecil dari apa yang kita ketahui adalah hasil hubungan jauh. Hampir semua pengetahuan manusia datang lewat hubungan sosial (social interaction), dan hampir tak ada pengetahuan yang muncul dalam keterisolasian manusia. Mungkin ini tak berlaku bagi seorang petapa, atau seorang yang mengasingkan dirinya di sebuah pulau tak berpenduduk. Tapi, berapa orang, sih, yang kayak gitu di sekitar kita? Dan apa, sih, pengetahuan mereka  -kita, kan, nggak tahu juga.

Kalau saya atau Anda mengaku memiliki sebuah pengetahuan, maka hampir pasti “sebuah pengetahuan” itu dimiliki juga oleh orang lain selain saya dan Anda. Coba, deh, hitung-hitung sendiri: berapa banyak hal yang kita ketahui dan tidak diketahui orang lain? Pasti nggak ada! Bahkan untuk seseorang yang mengaku “menemukan” sebuah pengetahuan baru (sering dikatakan “temuan baru”), pasti ada bagian dari yang “baru” itu adalah “lama”, dan kalau tidak ada yang “lama” maka tidak mungkin ada yang “baru”. Semua pengetahuan didahului oleh pengetahuan sebelumnya, dan hampir pasti “pengetahuan sebelumnya” ini datang dari orang lain.

Maka amatlah penting bagi para peneliti maupun praktisi yang bergerak dalam bidang informasi dan pengetahuan untuk memahami hubungan sosial atau pergaulan sosial sebagai bagian dari perkembangan pengetahuan. Untuk awalan, simaklah pendapat Nahapiet dan Goshal (1998) yang mengentarai ada tiga dimensi dalam sebuah hubungan atau interaksi sosial:  dimensi struktural, relasional dan kognitif. Secara ringkas, begini penjelasannya:

  1. Dimensi struktural. Setiap sistem masyarakat mengandung ciri-ciri alias properties yang memperlihatkan konfigurasi (tatanan) hubungan antar manusia atau antar kelompok.  Konfigurasi ini langsung memengaruhi pembentukan pengetahuan, karena menentukan akses seseorang ke sumber pengetahuan.  Orang yang punya koneksi adalah orang yang lebih banyak punya akses ke sumber pengetahuan. Semakin bagus koneksinya, semakin besar kemungkinannya mengakses pengetahuan orang lain. Nggak percaya? Coba, deh, berteman baik dengan seorang pustakawan… hehehehe.   Koneksi ini tak harus bersifat fisik; dapat pula berupa koneksi virtual lewat telekomunikasi. Misalnya, lewat blog ini (ehm!) atau lewat Facebook, MySpace, Plurk, dan sebagainya.  Dalam rumus singkat, pengaruh koneksi terhadap pengetahuan ini berbunyi: “who you know is what you know“. Lebih jauh lagi, koneksi dan pergaulan sehari-hari dapat mempermurah biaya akses pengetahuan. Nggak percaya? Coba, deh, berteman dengan seorang pustakawan… hehehehe (lagi).
  2. Dimensi relasional. Setiap hubungan antar manusia selalu melalui semacam “sejarah”, tidak ujug-ujug terjadi begitu saja. Dalam dimensi relasional antar manusia ada tiga hal penting yang terbangun sejalan dengan waktu, yaitu penghargaan (respect), pertemanan (friendship) dan keterikatan (bond).  Ketiganya menentukan sejauh mana ada kepedulian (level of care), pengaturan kerjasama (norms of cooperations) dan rasa kebersamaan (sense of identification).  Kalau sudah ada kepedulian, maka muncul saling-percaya (mutual trust), empati, bantuan, dan toleransi.   Semua ini tentu saja mempermudah kerjasama dan akhirnya mempermudah pengembangan pengetahuan antar sesama. Semakin erat hubungan antar manusia, semakin mudah bagi manusia-manusia itu untuk bertukar pikiran, dan semakin hebatlah perkembangan pengetahuan di antara mereka. Hal ini sebenarnya sangat manusiawi, tapi sayang sekali banyak orang yang mengabaikannya. Sebuah masyarakat yang penuh saling curiga, yang enggan bekerja sama, dan tak punya empati seringkali adalah masyarakat yang juga tak punya pengetahuan, tak berkembangan pengetahuannya, dan akhirnya menjadi masyarakat terkebelakang. 
  3. Dimensi kognitif.  Setiap hubungan antar-manusia tentu saja adalah hubungan antar-pikiran pula, dan pikiran-pikiran manusia dapat saling dipertukarkan melalui sistem bahasa yang mengandung simbol atau representasi (representations), cara memahami (interpretations), dan pemaknaan (meaning).  Dimensi kognitif, dengan demikian, terlihat dalam bentuk kesamaan bahasa dan kesepahaman antar manusia. Amatlah lumrah bahwa dimensi kognitif ini jadi hal penting dalam pertukaran dan perkembangan pengetahuan. Setiap butir pengetahuan merasuk ke dalam benak kita melalui bahasa. Sepintar-pintarnya seseorang, ia memerlukan cara sederhana untuk memasukkan pengetahuan ke dalam pikirannya, dan untuk itu ia perlu simbol, kata, istilah yang dapat ia pertukarkan dengan orang lain. Semakin mudah seseorang memahami orang lain, semakin mudah pula ia mempertukarkan pengetahuannya. Itulah sebabnya, dalam setiap upaya belajar seringkali hal pertama yang dilakukan seseorang adalah mempelajari semua istilah-istilah khas dari apa yang dipelajarinya itu.

Dari penjelasan Nahapiet dan Goshal di atas, kita dapat melihat betapa sifat dan karakteristik hubungan sosial dalam sebuah kelompok, organisasi, atau masyarakat amat menentukan jenis dan perkembangan pengetahuan manusia-manusia yang menjadi anggotanya. Hubungan sosial yang rileks, intim, dan saling menghargai akan menciptakan anggota-anggota yang berpengetahuan fleksibel, mudah mengembangkan pengetahuan pribadinya, dan bersama-sama menciptakan solusi atau inovasi dalam kehidupan mereka. Sebaliknya, hubungan sosial yang tegang, penuh konflik, dan saling menyalahkan cenderung menghambat perkembangan pengetahuan, atau membuat anggotanya sulit mengembangkan diri. Begitu pula, ketiadaan hubungan sosial mempersulit perkembangan pengetahuan.

Kalau dipikir-pikir lagi, sebenarnya semua itu sangatlah lumrah dan mudah dipahami. Kenapa manusia sepertinya menyukai konflik dan cenderung berkelahi? Nah, pengetahuan tentang inilah yang harus kita perbanyak pula!

Bacaan:

Nahapiet, J. and Ghoshal, S. (1998), “Social capital, intellectual capital, and the organizational advantage’, Academy of Management, The Academy of Management Review, Vol. 23 No. 2, pp. 242-66.

Posted in Kajian Pemakai, Manajemen | Dengan kaitkata: , | 1 Comment »

Evaluasi Sebelum Devaluasi

Posted by putubuku pada Oktober 30, 2008

Tanpa harus menjadi nyinyir kita perlu mengakui bahwa eksistensi perpustakaan dan sistem informasi di masyarakat sangat rentan terhadap pertanyaan sinis: buat apa sih sebenarnya institusi-institusi itu? Pada umumnya orang awam lebih terkesima oleh gemerlap teknologi yang ada di institusi tersebut, dan hanya akan mengatakan bahwa perpustakaan atau sistem informasi bernilai sesuai nilai teknologi yang ada di dalamnya. Semakin baru teknologinya, semakin baik citra perpustakaan atau sistem informasi yang bersangkutan.

Stereotip yang mengecilkan hati itu sebenarnya cukup beralasan. Baik orang awam maupun kaum profesional sebenarnya sama-sama menemui kesulitan jika harus sungguh-sungguh memastikan: apa sebenarnya kegunaan dari membangun gedung penuh koleksi buku yang kita namakan perpustakaan itu? Bagaimana menentukan aspek mana dari perpustakaan itu yang sebenarnya berguna bagi suatu kegiatan tertentu. Apakah koleksinya mempengaruhi prestasi belajar? Apakah kinerja pustakawannya meringankan beban pengajar? Apakah tata-ruangnya membantu pengunjung tidur lebih nyenyak?

Serupa walau tak sama, orang juga sering bertanya: apa gunanya membangun sistem informasi yang begitu canggih di sebuah bank yang akhirnya bangkrut karena dikorupsi pemiliknya? Atau yang lebih seram: bagaimana sebuah sistem informasi yang konon mampu mencegah perang nuklir dapat meloloskan dua pesawat sipil untuk dihantamkan ke the Twin Tower?

Dari pertanyaan yang sepele sampai yang fundamental di atas muncullah motivasi untuk salah satu jenis penelitian paling populer di bidang informasi, yaitu penelitian evaluasi alias evaluation research. Penelitian jenis ini seringkali mengandung maksud meyakinkan orang lain maupun diri sendiri bahwa apa yang kita kerjakan memang patut dikerjakan. Khusus di bidang perpustakaan dan informasi, jenis penelitian ini amat populer. Tulisan Powell (2006) memaparkan berbagai variasi jenis penelitian ini dan membuat daftar berisi sedikitnya 10 alasan kuat untuk melakukan penelitian evaluasi. Selain untuk mendukung proses pengambilan keputusan di sebuah organisasi, penelitian evaluasi seringkali juga didorong oleh keinginan menghindari pengulangan kesalahan yang pernah dibuat, dan untuk meningkatkan citra di kalangan pengguna.

Mengutip berbagai pendapat, Powell mengungkapkan bahwa penelitian evaluasi sebenarnya bukanlah tujuan akhir dari sebuah proses perbaikan kinerja. Seringkali penelitian evaluasi justru menjadi awal dari berbagai penelitian berikutnya, termasuk penelitian operasi (operation research) dan uji-coba atau eksperimen. Pada umumnya penelitian evaluasi memang ingin menguji efektivitas dan efisiensi kerja sehingga sangat berurusan dengan pengukuran (measurement). Itu sebabnya penelitian evaluasi seringkali memakai pendekatan kuantitatif. Banyak pula penelitian evaluasi, –khususnya di bidang perpustakaan dan informasi– dimotivasi oleh keinginan mengukur kinerja (performance) dan kualitas jasa (service quality). Salah satu jenis penelitian ini yang amat populer adalah yang berbasis SERV-QUAL dan dimodifikasi untuk perpustakaan dengan nama LibQUAL. Silakan lihat situs tentang metode tersebut di sini: http://www.libqual.org/

Penggunaan standar kinerja dan benchmarking juga amat populer di bidang perpustakaan. Berbagai jenis perpustakaan menggunakan standar-standar yang dibuat oleh asosiasi profesi. Misalnya, untuk profesi pustakawan umum (public librarians) di Australia tersedia puluhan standar kinerja (lihat di sini http://www.alia.org.au/governance/committees/public.libraries/standards.html).  Di situs mereka terdaftar sedikitnya ada 11 kategori standar, yaitu:

  1. Free access to information
  2. Information as a commodity
  3. Joint-use libraries
  4. Library and information sector: core knowledge, skills and attributes
  5. Library and information services appointments
  6. Libraries and privacy guidelines
  7. Non-standard employment
  8. Professional conduct
  9. Public library services
  10. Employer roles and responsibilities in education and professional development
  11. Senior library staff and information services appointments

Masing-masing dari 11 standar itu dapat menjadi landasan untuk melakukan penelitian evaluasi. Misalnya, standar tentang “information as a commodity” sangat bagus untuk melakukan evaluasi apakah sebuah perpustakaan umum sudah patut menjual informasi, dan kalau menjual berapa harga yang patut. Tentu saja ini semua memperhitungkan pula kenyataan bahwa perpustakaan umum adalah lembaga publik yang didanai pemerintah.

Untuk jenis penelitian evaluasi yang menggunakan standar, para peneliti perlu menyadari bahwa standar-standar tersebut sebenarnya cocok untuk konteks sosial-kultural masyarakat tertentu. Sebab itu, jika ingin mengadopsi sebuah standar untuk mengukur kinerja perpustakaan, seorang peneliti perlu memeriksa kecocokan konteks ini. Salah satu kelemahan penelitian evaluasi yang menggunakan standar dan pengukuran kuantitatif ini adalah pengabaian konteks. Maka dari itu sebuah penelitian evaluasi perlu membuka kemungkinan penggunaan metode kualitatif, dan ini bukan sesuatu yang di-“haram”-kan dalam penelitian evaluasi. Seringkali, metode kualitatif dipakai terlebih dahulu untuk membangun pemahaman tentang konteks sosial-budaya, sebelum kemudian membuat atau mengadopsi sebuah standar dari negara lain.

Bacaan:

Powell, Ronald R. (2006), “Evaluation research: an overview” Library Trends, vol. 55 no. 1, hal. 102-120.

Posted in Kepustakawanan, Manajemen, Organisasi | Dengan kaitkata: | 8 Comments »