Kalau dipikir-pikir, sebagian besar pengetahuan yang sekarang kita miliki adalah hasil pergaulan dengan orang-orang yang relatif dekat. Hanya sebagian kecil dari apa yang kita ketahui adalah hasil hubungan jauh. Hampir semua pengetahuan manusia datang lewat hubungan sosial (social interaction), dan hampir tak ada pengetahuan yang muncul dalam keterisolasian manusia. Mungkin ini tak berlaku bagi seorang petapa, atau seorang yang mengasingkan dirinya di sebuah pulau tak berpenduduk. Tapi, berapa orang, sih, yang kayak gitu di sekitar kita? Dan apa, sih, pengetahuan mereka -kita, kan, nggak tahu juga.
Kalau saya atau Anda mengaku memiliki sebuah pengetahuan, maka hampir pasti “sebuah pengetahuan” itu dimiliki juga oleh orang lain selain saya dan Anda. Coba, deh, hitung-hitung sendiri: berapa banyak hal yang kita ketahui dan tidak diketahui orang lain? Pasti nggak ada! Bahkan untuk seseorang yang mengaku “menemukan” sebuah pengetahuan baru (sering dikatakan “temuan baru”), pasti ada bagian dari yang “baru” itu adalah “lama”, dan kalau tidak ada yang “lama” maka tidak mungkin ada yang “baru”. Semua pengetahuan didahului oleh pengetahuan sebelumnya, dan hampir pasti “pengetahuan sebelumnya” ini datang dari orang lain.
Maka amatlah penting bagi para peneliti maupun praktisi yang bergerak dalam bidang informasi dan pengetahuan untuk memahami hubungan sosial atau pergaulan sosial sebagai bagian dari perkembangan pengetahuan. Untuk awalan, simaklah pendapat Nahapiet dan Goshal (1998) yang mengentarai ada tiga dimensi dalam sebuah hubungan atau interaksi sosial: dimensi struktural, relasional dan kognitif. Secara ringkas, begini penjelasannya:
- Dimensi struktural. Setiap sistem masyarakat mengandung ciri-ciri alias properties yang memperlihatkan konfigurasi (tatanan) hubungan antar manusia atau antar kelompok. Konfigurasi ini langsung memengaruhi pembentukan pengetahuan, karena menentukan akses seseorang ke sumber pengetahuan. Orang yang punya koneksi adalah orang yang lebih banyak punya akses ke sumber pengetahuan. Semakin bagus koneksinya, semakin besar kemungkinannya mengakses pengetahuan orang lain. Nggak percaya? Coba, deh, berteman baik dengan seorang pustakawan… hehehehe. Koneksi ini tak harus bersifat fisik; dapat pula berupa koneksi virtual lewat telekomunikasi. Misalnya, lewat blog ini (ehm!) atau lewat Facebook, MySpace, Plurk, dan sebagainya. Dalam rumus singkat, pengaruh koneksi terhadap pengetahuan ini berbunyi: “who you know is what you know“. Lebih jauh lagi, koneksi dan pergaulan sehari-hari dapat mempermurah biaya akses pengetahuan. Nggak percaya? Coba, deh, berteman dengan seorang pustakawan… hehehehe (lagi).
- Dimensi relasional. Setiap hubungan antar manusia selalu melalui semacam “sejarah”, tidak ujug-ujug terjadi begitu saja. Dalam dimensi relasional antar manusia ada tiga hal penting yang terbangun sejalan dengan waktu, yaitu penghargaan (respect), pertemanan (friendship) dan keterikatan (bond). Ketiganya menentukan sejauh mana ada kepedulian (level of care), pengaturan kerjasama (norms of cooperations) dan rasa kebersamaan (sense of identification). Kalau sudah ada kepedulian, maka muncul saling-percaya (mutual trust), empati, bantuan, dan toleransi. Semua ini tentu saja mempermudah kerjasama dan akhirnya mempermudah pengembangan pengetahuan antar sesama. Semakin erat hubungan antar manusia, semakin mudah bagi manusia-manusia itu untuk bertukar pikiran, dan semakin hebatlah perkembangan pengetahuan di antara mereka. Hal ini sebenarnya sangat manusiawi, tapi sayang sekali banyak orang yang mengabaikannya. Sebuah masyarakat yang penuh saling curiga, yang enggan bekerja sama, dan tak punya empati seringkali adalah masyarakat yang juga tak punya pengetahuan, tak berkembangan pengetahuannya, dan akhirnya menjadi masyarakat terkebelakang.
- Dimensi kognitif. Setiap hubungan antar-manusia tentu saja adalah hubungan antar-pikiran pula, dan pikiran-pikiran manusia dapat saling dipertukarkan melalui sistem bahasa yang mengandung simbol atau representasi (representations), cara memahami (interpretations), dan pemaknaan (meaning). Dimensi kognitif, dengan demikian, terlihat dalam bentuk kesamaan bahasa dan kesepahaman antar manusia. Amatlah lumrah bahwa dimensi kognitif ini jadi hal penting dalam pertukaran dan perkembangan pengetahuan. Setiap butir pengetahuan merasuk ke dalam benak kita melalui bahasa. Sepintar-pintarnya seseorang, ia memerlukan cara sederhana untuk memasukkan pengetahuan ke dalam pikirannya, dan untuk itu ia perlu simbol, kata, istilah yang dapat ia pertukarkan dengan orang lain. Semakin mudah seseorang memahami orang lain, semakin mudah pula ia mempertukarkan pengetahuannya. Itulah sebabnya, dalam setiap upaya belajar seringkali hal pertama yang dilakukan seseorang adalah mempelajari semua istilah-istilah khas dari apa yang dipelajarinya itu.
Dari penjelasan Nahapiet dan Goshal di atas, kita dapat melihat betapa sifat dan karakteristik hubungan sosial dalam sebuah kelompok, organisasi, atau masyarakat amat menentukan jenis dan perkembangan pengetahuan manusia-manusia yang menjadi anggotanya. Hubungan sosial yang rileks, intim, dan saling menghargai akan menciptakan anggota-anggota yang berpengetahuan fleksibel, mudah mengembangkan pengetahuan pribadinya, dan bersama-sama menciptakan solusi atau inovasi dalam kehidupan mereka. Sebaliknya, hubungan sosial yang tegang, penuh konflik, dan saling menyalahkan cenderung menghambat perkembangan pengetahuan, atau membuat anggotanya sulit mengembangkan diri. Begitu pula, ketiadaan hubungan sosial mempersulit perkembangan pengetahuan.
Kalau dipikir-pikir lagi, sebenarnya semua itu sangatlah lumrah dan mudah dipahami. Kenapa manusia sepertinya menyukai konflik dan cenderung berkelahi? Nah, pengetahuan tentang inilah yang harus kita perbanyak pula!
Bacaan:
Nahapiet, J. and Ghoshal, S. (1998), “Social capital, intellectual capital, and the organizational advantage’, Academy of Management, The Academy of Management Review, Vol. 23 No. 2, pp. 242-66.