Ilmu Perpustakaan & Informasi

diskusi dan ulasan ringkas

Posts Tagged ‘filsafat bahasa’

“Membaca” sang Pembaca

Posted by putubuku pada Maret 20, 2009

Tradisi kepustakawanan dan ilmu perpustakaan seringkali memfokuskan diri pada buku dan bacaan, katimbang membaca dan pembacanya. Sampai sekarang fokus ini masih ada: alih-alih memahami pengguna perpustakaan, banyak pustakawan berkonsentrasi pada nilai-baik yang ada di buku; alih-alih menyediakan buku yang dibutuhkan, banyak pustakawan menitikberatkan kegiatan mereka pada “buku yang baik” atau “buku yang positif”. Kegiatan seleksi dan pengembangan koleksi seringkali berdasarkan “nilai baik” dengan asumsi bahwa buku yang baik akan menghasilkan masyarakat yang baik.

Dalam tradisi literasi atau sastra (terutama di Amerika Serikat), pandangan seperti ini memang juga ada, didukung oleh berbagai model tentang text-active yang menjadi bagian dari teori new criticism –sebuah teori yang dibangun tahun 1940-an oleh John Crowe Ransom. Teori ini berasumsi bahwa teks (atau buku) dapat dilihat sebagai dirinya sendiri (self contained), terlepas dari respon pembaca, maksud penulis, atau konteks historis-kulturalnya. Para penganut new criticism melakukan close reading dan percaya bahwa struktur dan makna sebuah teks adalah satu kesatuan. Konsentrasi sepenuhnya dicurahkan pada mengutak-atik (atau “mengulik” istilah sekarangnya) teks itu sendiri. Pada tahun 1954, William K. Wimsatt dan Monroe Beardsley menegaskan bahwa dengan berkonsentrasi pada apa yang sudah tertera di atas kertas, maka maksud si penulisnya tidaklah terlalu relevan lagi. Bagi new criticism teks adalah segalanya. [Di blog ini close reading sudah pernah ditulis; silakan klik di sini]

Teori new criticism pada gilirannya mendapat kritik lagi dari sebuah aliran baru, yaitu reader-response criticism. Aliran baru ini malah mengedepankan kenyataan bahwa seorang pembaca memiliki peran besar dalam menetapkan makna sebuah bacaan. Dengan kata lain, apa yang terkandung dalam sebuah bacaan mungkin saja tidak terdapat di dalam bacaan itu sendiri, melainkan di dalam konstruksi (construct) pembacanya. Pada tahun 1980-an, tiga buku penting muncul di kancah penelitian tentang bacaan dan membaca, yaitu:

  1. Fish, S. (1980). Is There a Text in This class? The Authority of Interpretive Communites, Cambridge : Harvard University Press.
  2. Suleiman, S.R. dan Crosman, I. (ed.) (1980). The Reader in the Text : Essays on Audience and Interpretation, Princeton : Princeton University Press.
  3. Tompkins, J.P. (ed.) (1980). Reader-response Criticism : from Normalism to Post-structuralism, London : John Hopkins University Press.

Ketiga buku ini menegaskan pentingnya peran pembaca yang “membawa makna ke dalam tulisan”. Artinya, sebuah teks bukanlah satu-satunya sumber makna. Seorang pembaca menggunakan akal-budi dan pengalamannya ketika membaca sebuah teks. Apa yang ia maknai pada sebuah teks ikut ditentukan oleh pengalaman sebelumnya, persepsi, imajinasi, dan bahkan juga harapan-harapannya. Beberapa peneliti juga menekankan pada kemungkinan seorang pembaca “menemukan” maknanya sendiri, yang barangkali berbeda dari yang ditemukan orang lain, atau dari yang tertera di atas kertas. Toh, sejak lama kita sudah kenal frasa to read between the lines. Pada intinya, teori reader-response atau teori reception (karena berkonsentrasi pada pembaca sebagai “penerima” teks) mengangap bahwa teks tertulis harus dilihat secara dinamis, dan belum “jadi”. Setelah ada pembacanya, barulah teks itu membentuk makna.

Apa pengaruh teori ini pada bidang perpustakaan? Jelas adalah pada pengalihan perhatian: dari teks di atas kertas (atau di dalam buku) ke manusia yang membacanya. Dalam penelitian yang berorientasi buku, kita tak terlalu peduli pada bagaimana buku itu sesungguhnya dibaca. Sebaliknya dalam penelitian berorientasi pada pembaca, kita mengutamakan pengkajian terhadap perilaku, situasi, kondisi, dan makna-makna yang dibangun oleh manusia-pembaca. Kajian ini dapat dilakukan terhadap individu-individu, maupun terhadap sekelompok orang dalam sebuah masyarakat.  Dengan kata lain, kita bermaksud “membaca” sang pembaca.

Pendekatan kualitatif, khususnya etnografi, dapat digunakan untuk memahami bagaimana masyarakat mengenakan nilai atau makna kepada bacaan mereka. Buku yang amat menarik tentang penelitian etnografi ini adalah The Ethnography of Reading,  yang dieditori Jonathan Boyarin, terbitan University of California Press,  tahun 1993.

Bacaan:

Ross, C.S. (2005), “Reader response theory”, dalam Theories of Information Behavior, Fisher, K.E, Erdelez, S. dan McKechnie, L. (ed.),  Medford : Information Today, hal. 303 – 307.

Posted in Kepustakawanan, Masyarakat Informasi, Perilaku informasi | Dengan kaitkata: , | 10 Comments »

Baca, lah! Taat, lah!

Posted by putubuku pada September 7, 2008

Buku dan agama -dan ini berarti agama apa pun- jelas adalah dua hal yang tak terpisahkan. Sulit membayangkan kehadiran buku dalam peradaban manusia tanpa mengaitkannya dengan kelahiran agama-agama besar. Lebih sulit lagi membayangkan agama yang tidak berkitab. Semua agama memiliki kitab dan tentu saja kitab itu adalah buku juga adanya. Dari sini, mudah sekali menyimpulkan bahwa orang yang beragama sebenarnya adalah orang yang membaca. Mudah pula menyimpulkan: seseorang akan membaca untuk menjadikan dirinya beragama.

Sebelum peradaban menjadi seperti sekarang, kegiatan “membaca” (memayar huruf-huruf di atas kertas dan memahaminya) bahkan dapat dikatakan mutlak kegiatan beragama. Sebelum ada banyak buku tentang banyak hal, seringkali hanya ada satu buku di sebuah masyarakat, dan buku itu hampir pasti adalah buku religius. Untuk sebagian masyarakat tertentu, sampai kini seringkali hanya ada satu atau dua buku yang mereka anggap patut disebut “bahan bacaan”. 

Tentu saja, setelah peradaban semakin maju, tak hanya buku religius yang hadir di kehidupan manusia. Bahkan tak hanya buku kertas, ada televisi dan komputer (dan gabungan keduanya!), dan ada berbagai media elektronik maupun digital yang sudah membuat jagat informasi ini penuh sesak. Lalu, kegiatan “membaca” itu sendiri akhirnya tak lagi merupakan kegiatan yang dianggap hanya berkaitan dengan agama. Bahkan, seringkali kita tercenung kalau melihat kenyataan bahwa “membaca untuk meningkatkan kemampuan beragama” saat ini justru lebih sedikit daripada membaca untuk berbagai keperluan lain.

Ditambah lagi, selama ini kita mengartikan “membaca” sebagai kegiatan membaca buku selain kitab suci. Bahkan kemampuan membaca yang kita jadikan landasan untuk menghitung tingkat melek-huruf adalah kemampuan membaca buku-buku teknis, manual, dan suratkabar. Demikian pula, orang-orang yang gemar berbicara tentang “minat baca” seringkali menggunakan ukuran tentang jumlah buku secara umum, dan jarang terusik untuk memperhatikan minat masyarakat pada kitab suci. Kita baru berpikir tentang “membaca” dan “beragama” pada saat-saat khusus, misalnya di bulan suci, atau menjelang hari raya.

Walaupun demikian, kita tetap dapat mengaitkan kegiatan membaca dengan religi, terutama jika kita mengaitkannya dengan cara membaca. Dalam hal ini, menarik untuk disimak, ulasan-ulasan John Milton, filsuf Inggris yang lebih terkenal karena buku-buku politiknya itu. Ada sebuah buku berjudul Milton and the Spiritual Reader: Reading and Religion in Seventeenth-Century England karangan David Ainsworth (Routledge, 2008) yang khusus membahas tulisan John Milton tentang kegiatan membaca religius. Selain mengamati kehidupan politik, Milton rupanya juga mempelajari pola kegiatan membaca di Inggris pada Abad 17.

Menurut Milton, agama dan kegiatan religius lah yang sebenarnya melahirkan kebiasaan membaca secara seksama. Pengertian orang tentang membaca secara sungguh-sungguh, dengan konsentrasi penuh, di tengah suasana hening dan khusyuk, datang dari institusi-institusi religius. Membaca dengan seksama dan khusyuk ini juga berkaitan dengan keimanan. Seseorang dapat meningkatkan pemahaman dan keimanan beragamanya jika orang itu mengambil sikap tekun dalam membaca, sekaligus memusatkan kepercayaannya pada agamanya. Lebih jauh lagi, Milton berpendapat bahwa ketekunan membaca buku agama ini juga harus disertasi satu sikap kritis terhadap segala hal yang tidak datang dari sabda Tuhan. Dengan kata lain, sebenarnya ada kaitan antara “membaca” dan “ketaatan”.

Sebelum umat manusia mengaitkan “membaca” dengan “pengetahuan” dan segala hal yang berhubungan dengan “ilmu”, terlebih dahulu pihak-pihak penyelenggara kegiatan beragama (para pengkhotbah, pendakwah, pendeta, dan sebagainya) mengaitkan “membaca” dengan keimanan dan ketaatan. Secara spesifik pula, kaum penyelenggara institusi religius mengembangkan teknik membaca yang kini lazim disebut sebagai Close Reading. Secara umum dapat dikatakan, close reading adalah membaca dengan tekun dan seksama. Ini sangat berbeda dibandingkan membaca untuk kesenangan (leisure reading) atau membaca untuk mendapatkan informasi (informative reading) dan membangun pemahaman (constructive reading).

Dalam perkembangan selanjutnya, cara membaca yang tekun dan seksama ini akhirnya menyebar ke segala bidang kehidupan. Beberapa ciri close reading kini juga sering dikaitkan secara spesifik ke membaca sastra. Sebuah situs di Internet, misalnya mengatakan:

  1. Close reading is the most important skill you need for any form of literary studies. It means paying especially close attention to what is printed on the page. It is a much more subtle and complex process than the term might suggest.
  2. Close reading means not only reading and understanding the meanings of the individual printed words; it also involves making yourself sensitive to all the nuances and connotations of language as it is used by skilled writers.
  3. This can mean anything from a work’s particular vocabulary, sentence construction, and imagery, to the themes that are being dealt with, the way in which the story is being told, and the view of the world that it offers. It involves almost everything from the smallest linguistic items to the largest issues of literary understanding and judgement.

(lihat http://www.mantex.co.uk/samples/closeread.htm)

Dari tiga butir di atas, terlihatlah bahwa close reading merupakan sebuah kegiatan yang cukup rumit dan memerlukan teknik tertentu. Tujuannya pun lebih spesifik dan terfokus, yaitu pada kemampuan linguistik yang lebih “tinggi” daripada sekadar mengenali makna kata. Seseorang dianggap melakukan close reading jika ia betul-betul dapat “merasakan” nuansa dari bacaannya dan secara linguistik “bersatu” dengan penulisnya. Dari kegiatan membaca seperti ini, maka terciptalah kesepahaman yang erat antara penulis dan pembaca. Bisa dibayangkan, mengapa dahulu pihak penyelenggara institusi religius sangat berkepentingan dengan cara membaca close reading  -karena mereka memang ingin “menyatukan” umat dengan Penciptanya lewat bacaan di kitab suci.

Saat ini, ketika buku tak hanya menyangkut agama, teknik close reading lebih banyak dikaitkan dengan sastra, budaya, dan ilmu pengetahuan pada umumnya. Sebuah situs (http://theliterarylink.com/closereading.html), misalnya, mengaitkan close reading dengan upaya mengungkap pola, problema, paradigma, teka-teki, dan persepsi yang terkandung di setiap bacaan atau tontonan. Istilah yang lebih khusus pun kini ada, yaitu explication de texte dan melibatkan tak kurang dari upaya memahami 12 butir penting dalam sebuah bacaan, yaitu:

  1. Figurative Language – ungkapan-ungkapan khas. 
  2. Diction – atau diksi, menyangkut perbendaharaan kata, pengalimatan, dan sebagainya.
  3. Literal content – kandungan utama dari sebuah karya.
  4. Structure – cara sebuah karya disusun.
  5. Style – gaya bahasa, gaya penuturan.
  6. Characterization – penokohan dan kepribadian yang muncul darinya 
  7. Tone – nada penyampaian cerita.
  8. Assessment – atau penilaian awal tentang kandungan bacaan.
  9. Context – kaitan antara sebuah karya dengan karya lainnya.
  10. Texture – keseluruhan cara yang digunakan penulis untuk membangun karyanya sebagai sebuah kesan dan pesan.
  11. Theme – tema, gagasan utama.
  12. Thesis – atau pernyataan usulan tentang pemikiran yang terkandung dalam sebuah karya.

Pada akhirnya terlihat bahwa “membaca” sebagaimana yang diulas oleh situs tersebut, bukanlah kegiatan main-main. Sebagaimana juga diulas di situs lain ( http://web.cn.edu/kwheeler/reading_lit.html), orang yang akan melakukan close reading memerlukan persiapan yang cukup. Melalui close reading orang berharap dapat membangun pemahaman yang lebih kokoh tentang sesuatu. Dengan kata lain, close reading ini memang bersifat lebih “dalam” dan mendasar, katimbang membaca cepat atau membaca sambil lalu.

Hanya saja, kini close reading tak melulu berkaitan dengan keimanan dan ketaatan beragama, walaupun sebenarnya teknik membaca yang tekun ini dahulu merupakan teknik khusus untuk belajar agama. Selain itu, perkembangan perbukuan akhirnya melahirkan ketaatan-ketaatan baru. Orang kini tak hanya taat pada agamanya, tetapi juga pada ilmu, pada ideologi politik, dan bahkan pada gaya hidup.

Mungkin di situlah ironinya.

Posted in Kepustakawanan, Masyarakat Informasi | Dengan kaitkata: , | 12 Comments »