Ilmu Perpustakaan & Informasi

diskusi dan ulasan ringkas

Posts Tagged ‘Fenomenologi’

Fenomena Itu, Teknologi Itu

Posted by putubuku pada Juni 9, 2008

Selama  lima tahun (dari 1995 sampai 2000), sebuah proyek pembangunan perpustakaan digital dilangsungkan di Library of Congress, Amerika Serikat. Proyek ini tergolong besar dan rumit, serta termasuk inovatif karena mengubah aplikasi teknologi, sekaligus juga praktik dan proses kerja di perpustakaan kebanggaan negara Paman Sam tersebut. Dua tahun setelah proyek selesai, seorang peneliti dan pengajar dari Rutgers University, New Jersey, bernama Marija Dalbelo melakukan kajian untuk mengungkap proses perubahan yang terjadi di Library of Congress (Dalbelo, 2005). Ia ingin mengetahui, bagaimana sesungguhnya sebuah inovasi dan terobosan teknologi dapat diterapkan di sebuah institusi yang cenderung mengesankan tradisi kepustakawanan yang kokoh dan tak banyak berubah.

Bagaimana juntrungan-nya, para pustakawan yang selama ini dikenal kuat memegang tradisi, mau merombak paradigma mereka sendiri dan merangkul serta mengedepankan inovasi teknologi? Siapakah para pembaharu alias inovator yang mampu memimpin kerja-bareng penuh aura perubahan dan perombakan itu?

Penelitian Dalbelo kita angkat di sini, bukan semata-mata karena ia meneliti sesuatu yang spektakuler dan rumit, melainkan karena Dalbelo memilih sebuah pendekatan penelitian yang biasa disebut phenomenological study atau kajian fenomenologis. Secara lebih khusus, penelitiannya menggunakan fenomenologi Peter Burger yang sudah dikembangkan dalam bentuk metode SCOT (Social Construction Of Technology – Konstruksi Sosial tentang Teknologi). Dengan metode ini, Dalbelo mengungkapkan bagaimana pembangunan sebuah perpustakaan digital sebenarnya adalah bagian dari proses negosiasi makna sosio-teknis antara pemimpin (kepala perpustakaan), pengambil keputusan (para pustakawan), dan para pengembang (developers). Perpustakaan digital dilihat sebagai sebuah “artefak teknologi” (technology artefact) yang tidak hanya terdiri dari alat, mesin, dan prosedur kerja, melainkan juga sebuah makna yang stabil (makna yang sudah disepakati, sudah memiliki kepastian) dan sebuah “penutup” (closure) dari lingkaran proses pengembangan sistem.

Hasil penelitian Dalbelo akhirnya memang adalah sebuah pemaknaan terhadap sebuah kejadian atau fenomena. Makna ini tidak “ditemukan” oleh si peneliti melainkan “dikonstruksi” (dibangun) bersama antara peneliti dan pihak-pihak yang terlibat dalam kejadian atau fenomena yang diteliti tersebut. Penelitian seperti ini lazim disebut sebagai penelitian yang memakai pandangan konstuktivistis (constructivist). Dalam penelitian konstruktivistis pihak peneliti banyak sekali mengandalkan kemampuannya melakukan interpretasi, sekaligus juga bergantung kepada interpretasi orang-orang lain yang terlibat dalam penelitiannya. Itu sebabnya, penelitian semacam ini disebut juga penelitian yang interpretif (interpretive).

Penelitian yang interpretif-konstruktivistis ini dikenal juga sebagai penelitian kualitatif.

Penelitian semacam yang dilakukan Dalbelo di atas pernah juga dilakukan oleh Limberg (1999) yang juga menggunakan fenomenologi ketika meneliti kaitan antara proses penemuan informasi dan belajar. Ia mengistilahkan metodenya sebagai fenomenografi. Limberg memilih metode ini karena ia ingin mengkaji kaitan antara cara siswa memanfaatkan informasi dan kegiatan belajar mereka. Limberg menganggap bahwa upaya menemukan informasi (information seeking) dan kegiatan belajar adalah dua fenomena. Ia lalu menggunakan fenomenografi untuk mendalami bagaimana para siswa memahami dan memberi makna tentang kedua fenomena itu.

Dalam artikelnya, Limberg menegaskan bahwa ia meneliti “cara mengalami” (way of experiencing) sebagai kesadaran tentang pengalaman itu. Sewaktu meneliti, ia menggunakan kemampuannya memahami cara siswa menyadari dan merasakan pengalaman, dan kemudian memahami fenomena menemukan informasi dan fenomena belajar. Dengan kata lain, Limberg mengandalkan kemampuan interpretasi dan menggunakan metode konstruktivistis untuk sampai kepada kesimpulan penelitiannya.

Cara-cara penelitian seperti yang dilakukan Dalbelo dan Limberg merupakan contoh dari penggunaan metode-metode kualitatif di bidang perpustakaan dan informasi yang mulai populer belakangan ini. Selama beberapa dekade di awal kemunculan ilmu perpustakaan dan informasi, pendekatan kualitatif belum banyak ditengok orang. Paradigma yang berkembang ketika para ilmuwan memulai upaya penelitian bidang perpustakaan dan informasi adalah paradigma positivis yang dibawa dari ilmu alam atau dari ilmu sosial yang berorientasi pada sains. Sebelum penelitian kualitatif menjadi populer, bidang perpustakaan dan informasi memerlukan perubahan paradigma terlebih dahulu .

Perubahan itu adalah perubahan dari objektivisme ke konstruktivisme.

Dalam penelitian Dalbelo dan Limberg di atas  -jika kedua peneliti ini memakai paradigma objektivisme-  maka proses pembangunan perpustakaan digital dan proses penemuan informasi adalah sesuatu yang berada di luar manusia-manusia yang terlibat, memiliki sifat-sifat nyata dan terukur seperti sifat kebendaan,. Teknologi di perpustakaan digital dan teknologi yang digunakan untuk pencarian informasi akan terlihat sebagai benda dan mekanisme fisik. Sebaliknya, berhubung Dalbelo dan Limberg adalah para peneliti yang memakai paradigma konstruktivisme, maka perpustakaan digital dan proses penemuan informasi adalah sebuah “konstruksi bersama” antara orang-orang yang terlibat di dalamnya. Teknologi dan mekanisme yang digunakan di sebuah perpustakaan digital akan terlihat sebagai sebuah kesepakatan makna, bukan sebagai benda-benda teknis.

Dapat kita lihat dari contoh penelitian Dalbelo dan Limberg, para peneliti konstruktivisme memang lebih banyak memfokuskan perhatian mereka kepada manusia, sekalipun yang mereka teliti adalah teknologi. Dalam perkembangan ilmu perpustakaan dan informasi, perhatian kepada manusia ini sebenarnya sudah lama muncul, walau gaungnya seringkali kalah oleh perhatian pada kemajuan teknologi dalam pengertian teknik, alat, dan mekanisme. Kerisauan yang muncul di kalangan pustakawan karena para peneliti cenderung mengabaikan aspek manusiawi dalam kepustakawanan sudah diungkapkan sejak 1970an. Bahkan dalam beberapa hal, seorang pustakawan senior di Amerika Serikat, Jesse Shera, di tahun 1950an sudah menyuarakan keraguan para peneliti ilmu perpustakaan dan informasi tentang fokus penelitian mereka. 

Kini, metode kualitatif semakin populer sejalan dengan semakin sadarnya masyarakat tentang karakter teknologi, khususnya teknologi informasi, yang semakin lama semakin sulit dipisahkan dari karakter manusia dan masyarakat yang memakainya. 

Dua links berikut ini mudah-mudahan dapat menambah pemahaman:

  1. http://jodi.tamu.edu/Articles/v03/i03/Weight/phenomenology.html (penelitian tentang gejala digitalisasi secara umum)
  2. http://informationr.net/tdw/publ/papers/COLIS4.html (fenomenologi sebagai bagian dari penelitian kualitatif di bidang informasi)

Bacaan:

Dalbelo, M. (2005), “A Phenomenological study of an emergent digital library” dalam The Library Quarterly, vol. 75 no. 4, hal. 391 – 420.

 

 

 

 

Limberg, Louise (1999)  “Experiencing information seeking and learning: a study of the interaction between two phenomena.” dalam Information Research, vol. 5 no. 1 diturunkan dari: http://informationr.net/ir/5-1/paper68.html, 20 Desember 2002.

 

 

Posted in Kepustakawanan, Masyarakat Informasi | Dengan kaitkata: | 4 Comments »

Sense Making Theory

Posted by putubuku pada Maret 27, 2008

Brenda Dervin mengembangkan sebuah teori yang diberinama Teori Sense-Making (selanjutnya TSM) untuk membantu peneliti bidang informasi memahami fenomena kebutuhan dan pencarian informasi. Agar dapat memahami dan menggunakan TSM, kita perlu memahami aspek ontologi dan epistemologi yang mendasarinya. Secara sederhana, “ontologi” adalah unsur “apa” (hakikat fenomena) sedangkan “epistemologi” adalah unsur “bagaimana memahami” unsur apa itu. Artinya, setiap teori selalu menegaskan apa yang patut diteliti dan bagaimana menelitinya.

Secara umum, TSM menganjurkan agar penelitian bidang informasi memfokuskan perhatian pada bagaimana seseorang “make sense” (memaknai, memahami, mengenali, mengerti) dunia sekelilingnya melalui persentuhan dengan berbagai institusi, media, pesan, dan situasi. Landasan TSM adalah paham fenomenologi (phenomenology), yakni paham yang percaya bahwa manusia secara aktif membentuk dunia sekeliling mereka dengan melakukan observasi dan pemaknaan terhadap segala yang terjadi. Dengan kata lain, “dunia sekeliling” terdiri dari “dunia buatan” yang dibentuk di pikiran manusia melalui persepsi, pandangan, dan pemaknaan. Dunia sekeliling bukanlah semata-mata “dunia fisik”. Justru unsur terpenting dalam kehidupan manusia adalah “dunia buatan” itu. Dalam bahasa sehari-hari, dunia buatan ini seringkali disebut sebagai “realita kehidupan”.

Jika kita ingin memakai TSM untuk penelitian, maka titik tolaknya harus dari sisi pandang seseorang tentang dunia sekelilingnya: bagaimana seseorang memandang (persepsi, horison) kehidupannya sendiri. Jika kita ingin memakai TSM untuk penelitian bidang perpustakaan dan informasi, maka titik tolaknya harus dari bagaimana orang membentuk persepsinya tentang perpustakaan dan informasi.       

Lebih jauh lagi, TSM didasarkan pada asumsi bahwa dunia sekeliling manusia atau realita  selalu mengandung dua hal yang selalu bertentangan dan saling meniadakan, yaitu:  keteraturan dan ketidakteraturan. Akibatnya, setiap orang dalam hidupnya selalu berhadapan dengan situasi problematik (problematic situation) dan kesenjangan (gaps). Akibatnya selanjutnya, manusia selalu berhadapan dengan “dunia yang tidak lengkap”. Itu sebabnya, dalam TSM manusia dianggap sebagai mahluk yang terus-menerus berupaya mengatasi problematika dan kesenjangan, agar ia dapat memahami realita walau cuma sejenak. Termasuk dalam problematika dan kesenjangan ini adalah problematika dan kesenjangan informasi. Manusia selalu menghadapi kedua hal ini dengan berupaya mencari dan melengkapi informasi di kepalanya. Inilah inti dari kegiatan mencari dan menggunakan informasi.

TSM dilengkapi sebuah model segitiga yang menggambarkan bagaimana manusia bergerak di antara tiga titik, yaitu SITUASI (di puncak segitiga), PENGGUNAAN (di dasar kiri segitiga), dan KESENJANGAN (di dasar kanan segitiga). Dengan model ini, TSM berasumsi bahwa setiap manusia selalu bergerak dalam pengertian ruang maupun waktu di antara ketiga titik tersebut, agar dunia sekeliling atau realita menjadi bermakna. Setiap saat manusia selalu berupaya mengatasi kesenjangan informasi agar realita menjadi lebih terstruktur dan teratur.

Kalau kita ingin menggunakan TSM untuk penelitian di bidang perpustakaan dan informasi, maka hal pertama yang harus dilakukan adalah menemukan petunjuk keberadaan ketiga titik itu. Misalnya, kalau kita ingin meneliti mahasiswa dalam konteks perpustakaan perguruan tinggi, maka kita harus memastikan bahwa mahasiswa itu memiliki gambaran (persepsi) tentang SITUASI (situasi perpustakaan, situasi kuliah), PENGGUNAAN (menggunakan katalog, membaca buku), dan KESENJANGAN (apa yang dianggap kurang dari dirinya dan dunia sekelilingnya). Setelah itu, kita harus dapat “melihat” (dari kacamata si mahasiswa, tentunya) bagaimana dia “bergerak” (bagaimana dia memahami, mengatasi, melakukan tindakan) di antara ketiga titik itu. Inilah inti penelitian bidang perpustakaan dan informasi jika memakai TSM.

Hal mendasar yang membedakan TSM dari teori pencarian dan penggunaan informasi lainnya adalah pada asumsi bahwa  semua fenomena dalam sebuah sistem informasi adalah fenomena persepsi manusia. Artinya, “informasi” di sini tidak diartikan sebagai bentuk-bentuk kebendaan, melainkan semata-mata gambaran atau bayangan atau pikiran manusia. Semua hal yang diteliti dengan menggunakan TSM harus dianggap sebagai bagian dari “make sense” (upaya memahami) dunia sekeliling. Sistem informasi bukanlah sistem benda, melainkan sistem pemaknaan manusia atau bahkan sistem kepercayaan manusia.

Sistem informasi itu ada karena manusia memaknai dan percaya bahwa sistem itu ada!

Jika ingin mendapat informasi lebih lanjut tentang TSM, silakan berkunjung ke situs Brenda Dervin di: http://communication.sbs.ohio-state.edu/sense-making/

Posted in Kajian Pemakai, Teori | Dengan kaitkata: , | 6 Comments »