Ilmu Perpustakaan & Informasi

diskusi dan ulasan ringkas

Posts Tagged ‘Layanan rujukan’

Apakah Ada Netralitas dalam Jasa Informasi?

Posted by putubuku pada September 13, 2008

Anda bekerja di perpustakaan, bertugas di bagian meja referensi, dan kedatangan seseorang yang bertanya, “Buku apa yang harus saya baca kalau mau membuat bom dengan cara murah?” – Nah lo.. apa kira-kira jawab Anda?

Itu adalah soal klasik yang diajukan dosen mata kuliah rujukan atau pengantar etika profesi di sebagian besar sekolah perpustakaan. Setelah peristiwa 11 September, pertanyaan seperti ini jadi “mengerikan” dan tentu saja di Amerika Serikat dannegara sekutunya, tak ada dosen yang berani lagi mengajukan soal serupa.

Namun sebenarnya pertanyaan yang dulu masih terkesan dibuat-buat itu mengandung pertanyaan lebih mendasar: apakah seorangpustakawan harus menjawab semua pertanyaan? apakah sebuah perpustakaan harus menyimpan semua yang berpotensi menambahpengetahuan -sekali pun pengetahuan itu dapat digunakan untuk memusnahkan sebuah bangsa?

Pertanyaan ini juga menggugat konsep perpustakaan dan pustakawan sebagai bagian dari “services” (jasa, layanan) kepadapemakai. Dalam konsep ini, pustakawan terwujud dalam bentuk mahluk yang “memuaskan” – maksudnya, memenuhi kepuasan pengguna perpustakaan. Posisinya adalah melayani, seringkali terwujud dalam bentuk kegigihan untuk memenuhi permintaan pengguna,misalnya, “Saya mencari informasi tentang alamat rumah yang dulu pernah diindekosi penyair Chairil Anwar” atau “Apa yangdimaksud dengan caraka?”

Di abad Google, jawaban menjadi lebih mudah ditemukan asalkan kita cukup waktu (dan kegigihan lagi!) untuk memeriksakesahihan atau otoritas situs yang bersangkutan. Namun kemudian pustakawan seringkali “ketiban pulung” juga karena Googlememberikan jawaban yang “tanggung” sehingga seseorang menjadi lebih bernafsu mencari sumber-sumber orisinal. Pustakawanseringkali jadi sasaran empuk para pengguna yang menggebu-gebu hasrat keingintahuannya gara-gara dia sudah ditawari jawabanringkas dari Google. Para pengguna semakin gigih mencari informasi, dan itu artinya semakin gigih merangsek si pustakawan.

Lalu, kalau pustakawannya gagal melayani hasrat si pengguna, maka muncullah sindiran, “Ahh.. ngapain tanya pustakawan, keGoogle aja..”. Kepopuleran Google saat ini benar-benar telah memojokkan pustakawan, dan akibatnya pustakawan pun berjuangkeras untuk merebut kembali kepercayaan pengguna dan meningkatkan kualitas “melayani”.

Dalam sebuah buku yang berjudul kontroversial yang terbit tahun 1962, No Politics, No Religion, No Morals, seorang penulis Inggris yang sudah almarhum, D.J. Foskett pernah mengajukan usul agar pustakawan bagian referensi menjadi “alter ego”pengguna. Ia mengatakan,

During reference service, the librarian ought virtually to vanish as an individual person, except in so far as hispersonality sheds light on the working of the library. He must be the reader’s alter ego , immersed in his politics, hisreligion, his morals. He must have the ability to participate in the reader’s enthusiasms and to devote himself wholly and wholeheartedly to whatever cause the reader has at the time of the enquiry. He must put himself in the reader’s shoes (hal. 10).

Untuk dapat menjadi “alter ego” (atau “orang lain”, bisa juga diartikan “teman baik”), seorang pustakawan -menurut Foskett- harus mencapai posisi senetral-netralnya. Antara lain, posisi netral ini terwujud dalam sikap no politics (tidak terpengaruh oleh politik), no religion (tidak memihak agama tertentu) dan no morals (tidak menggunakan ukuran moralitas sepihak).

Maksudnya adalah, seorang pustakawan (dan khususnya yang bekerja di bagian referensi) harus menyisihkan dulu semua preferensi pribadinya, harus membuat dirinya “kosong”, agar dapat “menjadi orang lain” alias menjadi “alter ego” si pengguna. Dengan menyingkirkan semua pandangan politik, religi, maupun moralnya, maka pustakawan menjadi sangat netral dan sepenuhnya berada di pihak pengguna.

Bisa ditebak, posisi netral ini dapat menjebak, seperti ketika dimisalkan dengan pertanyaan tentang cara membuat bom di atas.

Mungkin saja pertanyaan tentang bom itu mengada-ada, dan sangat mungkin bahwa pertanyaan seperti itu amat jarang muncul di dalam kehidupan sehari-hari. Sebagian besar pertanyaan kepada pustakawan adalah pertanyaan “umum”, dan seringkali pertanyaan remeh (“Mbak, toiletnya di mana ya?”). Lebih sering lagi, pertanyaan itu bersifat terselubung -entah karena sengaja, maupunkarena memang penanyanya kurang pandai bertanya.

Namun tetap saja, posisi netral ini menimbulkan isyu etika yang mengganjal dunia kepustakawanan. Sebenarnya, isyu ini pun sekarang sudah meluas dan menjadi bagian dari isyu Internet. Kita tahu, Internet adalah sebuah dunia tanpa filter. Apa saja ada di situ, dan sangatlah relevan kalau sekarang kita bertanya: Apakah Google bertanggungjawab secara etis terhadap hasil pencariannya? Bagaimana jika ada seseorang mencari cara bunuh diri yang mudah dan ampuh, dan menemukannya lewat Google? Bukan kah Google juga dapat digunakan untuk mencari gambar-gambar porno?

Google lebih “beruntung” karena dia adalah sebuah robot, sebuah mesin pencari, yang tak punya pertimbangan moral. Para pembuat Google pun sangat beruntung karena bisa ngeles (mengelak) dengan mengatakan: kami, kan, cuma membuat mesin pencari, salahkan si pembuat dokumennya, dong! Padahal, kalau dipikir-pikir, tanpa Google barangkali dokumen-dokumen tak senonoh akan sulit ditemukan, dan sulit disebarkan. Google sebenarnya ikut membantu penyebaran informasi “negatif”.

Pustakawan tidaklah seberuntung Google. Masyarakat meletakkan stereotip kepada pustakawan, terutama dalam bentuk “pelayan” itu tadi. Dalam banyak benak anggota masyarakat, jika mereka datang ke perpustakaan, maka pustakawan adalah seseorang yang dapat menerima segala pertanyaan dan mengerti betul apa yang ingin mereka ketahui. Tetapi, seperti dalam contoh pertanyaan tentang bom di atas, stereotip ini juga mengandaikan pustakawan adalah layangan yang dapat dibawa angin ke mana pun bertiupnya. Netralitas pustakawan seringkali dilancungkan menjadi semacam “kepasrahan”.

Pernah ada upaya mengubah netralitas ini menjadi fungsi “penjaga gawang” (gatekeeper); semacam filter untuk memilah mana yang baik dan mana yang buruk. Namun fungsi ini lebih dikaitkan kepada pengembangan koleksi dan malah berkembang jadi fungsi sensor atas nama pihak tertentu -dus, tidak netral!

Juga ada upaya untuk mengembangkan Teori Kritis di kepustakawanan, dan muncul semacam gerakan “kembali ke khitah” yang meletakkan pustakawan sebagai sejenis pejuang anti-kesenjangan informasi. Dalam hal ini, jelas-jelas pustakawan mengambil posisi tidak netral. Pilihan pemihakannya dilandaskan pada pertimbangan ideologi anti-imperialisme dalam bidang informasi.

Tetapi, sekali lagi, pemihakan ini pun dapat digugat. Siapa yang boleh menentukan mana kekuatan imperial dan mana kaum yang terpinggirkan dalam bidang informasi?

Hmmm… menarik untuk jadi bahan renungan sambil memandang langit-langit kamar yaa.. 🙂

Bacaan

Foskett, D.J. (1962) The creed of a librarian: no politics, no religion, no morals. London: Library Association.

Posted in Kepustakawanan, Masyarakat Informasi | Dengan kaitkata: | 2 Comments »