Ilmu Perpustakaan & Informasi

diskusi dan ulasan ringkas

Posts Tagged ‘Sejarah’

Kisah Sedih Perpustakaan Khusus

Posted by putubuku pada Mei 27, 2008

Kelahiran dan perkembangan Kepustakawanan Khusus (Special Librarianships) beriringan dengan perkembangan dan kemajuan ilmu pengetahuan yang berbasis riset. Di Indonesia, tak terkecuali, perpustakaan khusus pertama kali hadir ketika kegiatan ilmiah mulai marak di persada tropis ini. Kegiatan penelitian tentang tanaman yang amat terkenal di seantero dunia adalah penelitian yang dilakukan di Kebun Raya Bogor. Sebuah herbarium berdiri di Kota Hujan itu tahun 1817, dan kemudian diikuti oleh kehadiran laboratorium zoologi dan phytochemical di tahun 1888. Di sinilah para ilmuwan belajar tentang bagaimana memanfaatkan tumbuh-tumbuhan untuk kepentingan industri kimia maupun kedokteran.

Puncak kegiatan ilmiah di Indonesia ditandai dengan penganugrahan hadiah Nobel kepada Dr. C. Eijkman pada tahun 1929, setahun sebelum ia wafat di usia 72 tahun. Aneka penelitian yang dilakukan profesor Eijkman di rumahsakit militer pemerintah kolonial di Jakarta telah menghasilkan temuan yang menggemparkan dunia. Ia memastikan bahwa larutan yang terbuat dari gabah dapat mencegah penyakit beri-beri atau kaki gajah, yang waktu itu adalah penyakit menakutkan. Selain menemukan bahan obat, penelitian Eijkman juga merupakan pelopor kajian ilmu gizi internasional, sehingga patut lah pria gaek ini mendapat hadiah Nobel.

Eksperimen demi eksperimen yang dilakukan para peneliti Belanda di Indonesia telah menjadikan Bogor sebagai pusat perhatian para ilmuwan. Semasa kolonial, kota ini identik dengan kebun rayanya yang megah dan penelitian-penelitian tanaman tropisnya yang spektakuler. Hasil-hasil penelitian dari Bogor ini menyebar ke dunia barat dan banyak memberi kontribusi pada penelitian tentang pangan dan obat-obatan. Harap maklum, ‘dunia barat’ waktu itu terdiri dari negara-negara imperialis-kolonialis yang punya kepentingan amat besar tentang negara-negara tropis. Bagi para imperialis-kolonialis ini, Indonesia adalah sumber daya alam luar biasa yang dapat dikeruk untuk keuntungan mereka. Penelitian apa pun tentang Indonesia pasti penting buat mereka. Sampai sekarang pun sebenarnya tetap begitu!

Menurut catatan Messer (1994), perkembangan ilmu di Indonesia pada jaman kolonial amatlah pesat. Sampai dengan tahun 1930-an tak kurang dari 1000 peneliti kawakan menjadikan nusantara yang gemah-ripah ini sebagai laboratorium mereka. Pada saat yang sama, hanya ada segelintir orang Indonesia yang ikut dalam penelitian itu, kebanyakan sebagai asisten.

Sepanjang perkembangan penelitian mereka, para peneliti Belanda juga mendirikan pusat-pusat dokumentasi dan perpustakaan. Pada masa keemasan penelitian ilmiah inilah kepustakawanan khusus tumbuh dengan pesat. Perpustakaan-perpustakaan besar dengan koleksi yang lengkap dan layanan canggih (untuk ukuran masa itu!) berdiri di Bogor, Bandung, dan Jakarta sejalan dengan bermetamorfosanya kota-kota tersebut sebagai kota pendidikan dan ilmu. Dari kota-kota inilah lahir temuan-temuan yang menggemparkan dunia, misalnya tentang geologi, angkasa luar (ingat Boscha di alam sejuk parahiangan adalah salah satu fasilitas paling canggih waktu itu), kedokteran (terutama untuk penyakit tropis), dan pangan. Berbagai jurnal ilmiah di bidang-bidang itu seringkali memuat tulisan para peneliti dari Indonesia (yang adalah orang Belanda).

Indonesia juga menjadi tujuan karir para peneliti Belanda selain tujuan wisata tuan dan nyonya Eropa. Sumatera, Jawa, dan Bali menjadi terkenal di Eropa, bukan saja karena tempat-tempat eksotisnya, tetapi juga kehidupan sosial-budayanya. Penelitian-penelitian antropologi di ketiga pulau itu ikut memberi kontribusi pada arah penelitian budaya internasional. Kajian-kajian sosial budaya di negeri kita yang punya ratusan etnis ini menjadi suar bagi banyak peneliti sosial budaya di negeri lain. Tidak heran jika perpustakaan ilmu-ilmu sosial dan budaya di Jakarta waktu itu harum namanya di kalangan peneliti internasional. Kelak perpustakaan inilah yang menjelma menjadi Perpustakaan Nasional Republik Indonesia.

Adalah suatu ironi ketika akhirnya perpustakaan-perpustakaan yang harum di masa kolonial itu perlahan-lahan pudar kedigjayaannya, dan bahkan akhirnya terpuruk menjadi semata-mata kumpulan koleksi antik. Menurut Messer, penghancuran kegiatan ilmiah dimulai oleh tentara pendudukan Jepang yang hanya tiga tahun tetapi benar-benar menyeluruh. Para ilmuwan Belanda kocar-kacir berlarian kembali ke Eropa atau untung-untungan nyelonong ke Australia. Indonesia pun kembali sepi dari kegiatan penelitian. Sebuah kesempatan emas untuk pengembangan ilmu punah begitu saja. Perpustakaan-perpustakaan pun ikut terbengkalai.

Salah satu kesempatan emas yang hilang adalah penelitian-penelitian kedokteran dan kesehatan demi kepentingan perang dan militer. Kalau kita simak perkembangan ilmu di Amerika Serikat, niscaya kita tahu bahwa Perang Dunia II sebenarnya membawa semacam ‘berkah’ bagi ilmuwan. Di jaman perang, para jenderal dan tentaranya perlu petunjuk-petunjuk dari ilmuwan. Industri perang atau industri senjata, perlu teori-teori yang ‘mematikan’ (maksudnya teori untuk membuat senjata). Ilmu komputer di Amerika Serikat sebenarnya dapat dikatakan lahir dari desakan pihak militer untuk membuat senjata yang akurat. Industri telekomunikasi didorong oleh para jenderal yang geregetan ingin menguasai jalur komando dari markas ke medan perang.

Kalau saja militer Belanda dan Jepang memberikan fasilitas memadai untuk melakukan penelitian kedokteran dan kesehatan di Indonesia, mungkin sekarang kita adalah negara paling maju dalam dua bidang itu. Sayang sekali, sekarang ini justru kita amat terpuruk, terutama di bidang kesehatan.

Sewaktu akhirnya kita merdeka di tahun 1945 dan benar-benar berdaulat di tahun 1949, keadaan fasilitas penelitian dan perpustakaan sebenarnya belum terlalu terbengkalai. Persoalan utama yang kita hadapi adalah keberadaan (atau lebih tepatnya: ketiadaan) para ilmuwan. Sewaktu Belanda hengkang dan Jepang merajam negeri ini, hanya ada sedikit ilmuwan Indonesia  -terlalu sedikit untuk dapat menggerakkan roda penelitian. Pemerintah Kolonial sangat egois dan berpikiran pendek. Mereka tidak memberi kesempatan yang cukup bagi para ilmuwan negeri ini untuk ikut dalam penelitian mereka. Tidak ada kaderisasi sama sekali.

Apalagi kemudian pemerintah Indonesia yang baru seumur jagung harus menghadapi berbagai persoalan pelik, termasuk persoalan politik. Banyak daerah yang ingin merdeka, pemberontakan di mana-mana. Ingat DI/TII, PRRI, Permesta dan lusinan upaya-upaya mengganggu pemerintah pusat. Persoalan ekonomi ikut membebani pemerintah muda yang cuma berbekal patriotisme itu. Perlahan tapi pasti, infrastruktur penelitian terbengkalai. Bersamaan dengan itu, Kepustakawanan Khusus ikut melempem.

Yah.. begitulah. Dongeng ini agaknya memang harus berakhir sedih.
  

Bacaan:

Messer, A. (1994), “Effects of the Indonesian National Revolution and Transfer of Power on the Scientific Establishment” dalam Indonesia, Vol. 58. hal. 41-68.

Posted in Kepustakawanan | Dengan kaitkata: | 4 Comments »

Jas Merah Kepustakawanan

Posted by putubuku pada Mei 15, 2008

Mari menengok sejenak ke sejarah, apalagi si Bung pernah bilang dengan lantang, “Jangan sekali-sekali melupakan sejarah!” atau disingkat JAS MERAH. Jika Anda berpendidikan ilmu perpustakaan dan berniat menjadi pustakawan, tentu patut juga menengok ke muasal sekolah dan ilmu Anda. Di Indonesia, sekolah perpustakaan pertama kali nongol di Jakarta (sekarang menjadi Jurusan Ilmu Perpustakaan di Universitas Indonesia), lalu di Bandung (sekarang menjadi Jurusan Ilmu Perpustakaan di Universitas Padjadjaran). Kedua sekolah ini pada awalnya didirikan oleh sekelompok orang yang mendapat pendidikan “barat”, sebagaian besarnya bersekolah di Amerika Serikat dan Inggris.

Seperti apa, dan bagaimana, kedua negara adikuasa itu melahirkan Ilmu Perpustakaan?

Sedikit flashback.. Di Amerika Serikat, tahun 1850an (kurang lebih 100 tahun sebelum Indonesia merdeka) muncul tuntutan pembentukan “national union catalog” yang akan menghimpun katalog berbagai perpustakaan, sementara di saat sama pustakawan Inggris sedang asyik dengan “public libraries movement”. Di tahun-tahun itu pula para pustakawan menyadari bahwa mereka sudah terbiasa mengelola buku, namun kurang siap menghadapi pertumbuhan pesat jurnal ilmiah dan belum punya prosedur maupun alat simpan dan temu-kembalinya. Seorang pustakawan kreatif bernama William Frederick Poole dari Yale College pada tahun 1848 merancang “collective index” untuk memudahkan akses ke artikel-artikel jurnal. Dua puluh delapan tahun kemudian, di konferensi American Library Association (ALA), Poole melaporkan kesulitan yang dihadapinya dan meminta ALA membantu.

Namun profesi pustakawan waktu itu belum sepakat membantu Poole, bukan saja karena waktu itu sumberdaya manajemen masih sangat terbatas, tetapi juga karena para pustakawan belum yakin akan kegunaan “micro-documentation” di tingkatan artikel dan masih lebih senang dengan “macro-documentation” di tingkatan “publication unit”. Maaf, kalau Anda pustakawan dan tidak mengerti istilah-istilah ini, mungkin kita perlu bertanya: Di mana sekolah Anda?

Oh ya.. American Library Association (ALA) berdiri pada tahun 1876, dan setahun kemudian di Inggris berdiri Library Association (LA). Sebelum dua organisasi ini berdiri, para pustakawan hanya dihargai dalam hal keterampilan “housekeeping”-nya, dan kepala perpustakaan biasanya melakukan pelatihan atau pemagangan untuk pegawai-pegawainya. Belum ada sekolah-sekolah perpustakaan.

Melvil Dewey, yang terlibat dalam kelahiran ALA, juga menulis karyanya yang terkenal Dewey Decimal Classification (DDC) pada tahun 1876. Dia pula yang membuat sebuah proposal untuk membentuk “School of Library Economy”. Setelah melalui perdebatan di kalangan pustakawan, pada tahun 1887 berdirilah sekolah itu sebagai bagian dari Columbia College. Pada akhir abad 19 itu, pustakawan Inggris juga menggiatkan Library Association mereka dan menerbitkan Library Journal yang waktu itu bermoto, “devoted to library economy and bibliography”. Kita waktu itu belum merdeka, dan Pemerintah Kolonial Belanda lebih tertarik melanjutkan pengembangan Kebun Raya daripada membangun perpustakaan untuk para inlander.

Sementara itu, pada masa yang sama, perhatian orang sedang tertuju pula pada  perkembangan di Brussels, Belgia; pada dua orang ahli hukum bernama Paul Otlet dan Henri La Fontaine yang menggunakan kata “dokumentasi” untuk sebuah “pendekatan baru” dalam mengelola akses ke segala sumber pengetahuan. Kisahnya bermula pada tahun 1892 ketika Paul Otlet bertemu Henri La Fontaine yang waktu itu sedang ditugaskan mengelola bahan-bahan dokumenter ilmu sosial di Société des Études Sociales et Politiques di Brussel. Waktu itu, jumlah jurnal ilmiah yang terhimpun mencapai 10.000 judul. Pada saat yang sama, para pustakawan sedang sibuk membuat “Répertoire Bibliographique Universel” yang akan mempunyai rujukan “seluruh semesta subjek”.

Aktivitas “documentation” pun menjadi resmi, dan mendorong kelahiran International Federation for Documentation and Information (FID). Kelak gerakan dokumentasi ini pula yang melahirkan profesi pustakawan khusus. Jauh hari kemudian, lebih dari seratus tahun kemudian, di Indonesia juga lahir Pusat Dokumentasi dan Informasi Ilmiah sebagai bagian dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia.

Kembali ke Amerika Serikat… Sekolah-sekolah perpustakaan bermunculan di Negeri Paman Sam itu. Melihat perkembangan yang menggembirakan di bekas koloninya, Inggris pun tergugah. Pada tahun 1919 berdirilah School of Library, Archive, and Information Studies (SLAIS) di University College, University of London. Di luar aksis AS-Inggris, pada tahun 1910 berdiri pula di Brazil sekolah pertama  di bawah naungan Bibliotheca Nacional do Rio de Janeiro, meniru model French École des Chartes di Paris. Lalu pada tahun 1929, seorang pustakawan dari Mackenzie Institute library di São Paulo, Adelpha Silva Rodrigues, mendapat beasiswa dari American Association of University Women untuk belajar kepustakawanan di AS. Sebagai gantinya, AS mengirim nona Dorothy Muriel Geddes, yang kemudian digantikan oleh nyonya Arthur E. Gropp, yang membuka sekolah perpustakaan di Mackenzie.

Perkembangan paling menentukan terjadi pada tahun 1926. Saat itu berdirilah Graduate Library School (GLS) di bawah naungan University of Chicago. Sponsor utama sekolah ini adalah Carnegie Foundation. Sekolah ini secara khusus ingin mengembangkan penelitian ilmiah dan membangun pondasi teori bagi kepustakawanan. Saat inilah dapat dikatakan telah lahir ide tentang Ilmu Perpustakaan. Salah satu pendukung utama peng-“imiah”-an kepustakawanan ini adalah seorang filsuf bernama John Dewey (jangan disamakan dengan Melvil Dewey). Karyanya, “The sources of a science of education” (Dewey, 1929) menjadi bacaan wajib di GLS dan tulisannya ini kemudian menjadi dasar pertama dari Ilmu Perpustakaan. Sesuai pikiran Dewey, tiga pokok ilmu yang menopang Ilmu Perpustakaan adalah sosiologi, psikologi, dan sejarah. Untuk mendukung kegiatan ilmiah dan penelitiannya, GLS menerbitkan Library Quarterly.

Perkembangan orientasi sekolah ini kemudian juga dipengaruhi oleh tulisan Pierce Butler, An Introductory to Library Science yang terbit tahun 1933. Buku ini menyatakan bahwa perpustakaan mengurusi pengetahuan ilmiah dan merupakan aktivitas institusi sosial yang rumit. Untuk mempelajari hal ini, maka ilmu perpustakaan harus diisi dan dilengkapi dengan metode statistik, psikologi membaca, sejarah buku, sejarah perpustakaan sebagai institusi, sejarah pengetahuan, dan sejarah bibliografi.

Pada tahun 1938 sampai 1940 seorang pustakawan bernama Jesse Shera mendaftar di GLS untuk mengambil program doktoral. Sambil kuliah, dia juga sempat bekerja di ibukota AS di sebuah proyek militer yang mengembangkan automatisasi perpustakaan dan manajemen. Pada tahun 1944 Shera meraih gelar doktor dengan disertasi tentang gerakan perpustakaan umum di New England.

Tiga puluh tahun setelah meraih gelar doktor, tulisan-tulisan Jesse Shera mengkristal dan mengarah ke pembentukan pondasi ilmu perpustakaan yang berciri epistemologi sosial. Secara ringkas, Jesse Shera mengatakan bahwa Ilmu Perpustakaan ditopang oleh teori-teori yang berkaitan dengan:

  1. Masalah kognisi, khususnya untuk menjawab bagaimana manusia mengetahui sesuatu.
  2. Masalah kognisi sosial untuk menjawab bagaimana sebuah masyarakat mengetahui sesuatu, dan apa saja karakteristik sosiopsikologis yang memungkinkan pengetahuan pribadi berkembang menjadi pengetahuan bersama,
  3. Masalah sejarah dan filsafat pengetahuan sepanjang masa, dan kaitannya dengan variasi budaya di berbagai belahan dunia.
  4. Masalah mekanisme bibliografis dan bagaimana sistem berselaras dengan dunia nyata di sekeliling perpustakaan khususnya yang berkaitan dengan komunikasi atau pertukaran pengetahuan.

Pikiran-pikiran Dewey, Butler, dan Shera itulah yang kemudian memicu berbagai upaya menegaskan keilmuan yang melandasi Kepustakawanan. Sayang sekali, ketika para pendiri sekolah-sekolah perpustakaan di Indonesia pulang ke tanah air dari belajar di “barat”, yang mereka bawa kebanyakan adalah landasan teknis penyelenggaraan perpustakaan. Di awal-awal pendidikan perpustakaan di Jakarta dan di Bandung, kegiatan penelitian dan pengkajian teori terdengar lamat-lamat saja.

Sekarang bagaimana? Wah… untuk ini perlu artikel lain, dong! 🙂

Posted in Kepustakawanan | Dengan kaitkata: , | 11 Comments »