Kelahiran dan perkembangan Kepustakawanan Khusus (Special Librarianships) beriringan dengan perkembangan dan kemajuan ilmu pengetahuan yang berbasis riset. Di Indonesia, tak terkecuali, perpustakaan khusus pertama kali hadir ketika kegiatan ilmiah mulai marak di persada tropis ini. Kegiatan penelitian tentang tanaman yang amat terkenal di seantero dunia adalah penelitian yang dilakukan di Kebun Raya Bogor. Sebuah herbarium berdiri di Kota Hujan itu tahun 1817, dan kemudian diikuti oleh kehadiran laboratorium zoologi dan phytochemical di tahun 1888. Di sinilah para ilmuwan belajar tentang bagaimana memanfaatkan tumbuh-tumbuhan untuk kepentingan industri kimia maupun kedokteran.
Puncak kegiatan ilmiah di Indonesia ditandai dengan penganugrahan hadiah Nobel kepada Dr. C. Eijkman pada tahun 1929, setahun sebelum ia wafat di usia 72 tahun. Aneka penelitian yang dilakukan profesor Eijkman di rumahsakit militer pemerintah kolonial di Jakarta telah menghasilkan temuan yang menggemparkan dunia. Ia memastikan bahwa larutan yang terbuat dari gabah dapat mencegah penyakit beri-beri atau kaki gajah, yang waktu itu adalah penyakit menakutkan. Selain menemukan bahan obat, penelitian Eijkman juga merupakan pelopor kajian ilmu gizi internasional, sehingga patut lah pria gaek ini mendapat hadiah Nobel.
Eksperimen demi eksperimen yang dilakukan para peneliti Belanda di Indonesia telah menjadikan Bogor sebagai pusat perhatian para ilmuwan. Semasa kolonial, kota ini identik dengan kebun rayanya yang megah dan penelitian-penelitian tanaman tropisnya yang spektakuler. Hasil-hasil penelitian dari Bogor ini menyebar ke dunia barat dan banyak memberi kontribusi pada penelitian tentang pangan dan obat-obatan. Harap maklum, ‘dunia barat’ waktu itu terdiri dari negara-negara imperialis-kolonialis yang punya kepentingan amat besar tentang negara-negara tropis. Bagi para imperialis-kolonialis ini, Indonesia adalah sumber daya alam luar biasa yang dapat dikeruk untuk keuntungan mereka. Penelitian apa pun tentang Indonesia pasti penting buat mereka. Sampai sekarang pun sebenarnya tetap begitu!
Menurut catatan Messer (1994), perkembangan ilmu di Indonesia pada jaman kolonial amatlah pesat. Sampai dengan tahun 1930-an tak kurang dari 1000 peneliti kawakan menjadikan nusantara yang gemah-ripah ini sebagai laboratorium mereka. Pada saat yang sama, hanya ada segelintir orang Indonesia yang ikut dalam penelitian itu, kebanyakan sebagai asisten.
Sepanjang perkembangan penelitian mereka, para peneliti Belanda juga mendirikan pusat-pusat dokumentasi dan perpustakaan. Pada masa keemasan penelitian ilmiah inilah kepustakawanan khusus tumbuh dengan pesat. Perpustakaan-perpustakaan besar dengan koleksi yang lengkap dan layanan canggih (untuk ukuran masa itu!) berdiri di Bogor, Bandung, dan Jakarta sejalan dengan bermetamorfosanya kota-kota tersebut sebagai kota pendidikan dan ilmu. Dari kota-kota inilah lahir temuan-temuan yang menggemparkan dunia, misalnya tentang geologi, angkasa luar (ingat Boscha di alam sejuk parahiangan adalah salah satu fasilitas paling canggih waktu itu), kedokteran (terutama untuk penyakit tropis), dan pangan. Berbagai jurnal ilmiah di bidang-bidang itu seringkali memuat tulisan para peneliti dari Indonesia (yang adalah orang Belanda).
Indonesia juga menjadi tujuan karir para peneliti Belanda selain tujuan wisata tuan dan nyonya Eropa. Sumatera, Jawa, dan Bali menjadi terkenal di Eropa, bukan saja karena tempat-tempat eksotisnya, tetapi juga kehidupan sosial-budayanya. Penelitian-penelitian antropologi di ketiga pulau itu ikut memberi kontribusi pada arah penelitian budaya internasional. Kajian-kajian sosial budaya di negeri kita yang punya ratusan etnis ini menjadi suar bagi banyak peneliti sosial budaya di negeri lain. Tidak heran jika perpustakaan ilmu-ilmu sosial dan budaya di Jakarta waktu itu harum namanya di kalangan peneliti internasional. Kelak perpustakaan inilah yang menjelma menjadi Perpustakaan Nasional Republik Indonesia.
Adalah suatu ironi ketika akhirnya perpustakaan-perpustakaan yang harum di masa kolonial itu perlahan-lahan pudar kedigjayaannya, dan bahkan akhirnya terpuruk menjadi semata-mata kumpulan koleksi antik. Menurut Messer, penghancuran kegiatan ilmiah dimulai oleh tentara pendudukan Jepang yang hanya tiga tahun tetapi benar-benar menyeluruh. Para ilmuwan Belanda kocar-kacir berlarian kembali ke Eropa atau untung-untungan nyelonong ke Australia. Indonesia pun kembali sepi dari kegiatan penelitian. Sebuah kesempatan emas untuk pengembangan ilmu punah begitu saja. Perpustakaan-perpustakaan pun ikut terbengkalai.
Salah satu kesempatan emas yang hilang adalah penelitian-penelitian kedokteran dan kesehatan demi kepentingan perang dan militer. Kalau kita simak perkembangan ilmu di Amerika Serikat, niscaya kita tahu bahwa Perang Dunia II sebenarnya membawa semacam ‘berkah’ bagi ilmuwan. Di jaman perang, para jenderal dan tentaranya perlu petunjuk-petunjuk dari ilmuwan. Industri perang atau industri senjata, perlu teori-teori yang ‘mematikan’ (maksudnya teori untuk membuat senjata). Ilmu komputer di Amerika Serikat sebenarnya dapat dikatakan lahir dari desakan pihak militer untuk membuat senjata yang akurat. Industri telekomunikasi didorong oleh para jenderal yang geregetan ingin menguasai jalur komando dari markas ke medan perang.
Kalau saja militer Belanda dan Jepang memberikan fasilitas memadai untuk melakukan penelitian kedokteran dan kesehatan di Indonesia, mungkin sekarang kita adalah negara paling maju dalam dua bidang itu. Sayang sekali, sekarang ini justru kita amat terpuruk, terutama di bidang kesehatan.
Sewaktu akhirnya kita merdeka di tahun 1945 dan benar-benar berdaulat di tahun 1949, keadaan fasilitas penelitian dan perpustakaan sebenarnya belum terlalu terbengkalai. Persoalan utama yang kita hadapi adalah keberadaan (atau lebih tepatnya: ketiadaan) para ilmuwan. Sewaktu Belanda hengkang dan Jepang merajam negeri ini, hanya ada sedikit ilmuwan Indonesia -terlalu sedikit untuk dapat menggerakkan roda penelitian. Pemerintah Kolonial sangat egois dan berpikiran pendek. Mereka tidak memberi kesempatan yang cukup bagi para ilmuwan negeri ini untuk ikut dalam penelitian mereka. Tidak ada kaderisasi sama sekali.
Apalagi kemudian pemerintah Indonesia yang baru seumur jagung harus menghadapi berbagai persoalan pelik, termasuk persoalan politik. Banyak daerah yang ingin merdeka, pemberontakan di mana-mana. Ingat DI/TII, PRRI, Permesta dan lusinan upaya-upaya mengganggu pemerintah pusat. Persoalan ekonomi ikut membebani pemerintah muda yang cuma berbekal patriotisme itu. Perlahan tapi pasti, infrastruktur penelitian terbengkalai. Bersamaan dengan itu, Kepustakawanan Khusus ikut melempem.
Yah.. begitulah. Dongeng ini agaknya memang harus berakhir sedih.
Bacaan:
Messer, A. (1994), “Effects of the Indonesian National Revolution and Transfer of Power on the Scientific Establishment” dalam Indonesia, Vol. 58. hal. 41-68.