Ilmu Perpustakaan & Informasi

diskusi dan ulasan ringkas

Posts Tagged ‘Internet’

Social Computing dan Perpustakaan Digital

Posted by putubuku pada Februari 15, 2009

Istilah social computing merujuk ke penggunaan komputer secara meluas oleh berbagai lapisan masyarakat untuk saling berhubungan, menciptakan jaringan sosial (social network), mengandalkan perangkat yang mudah diperoleh dan mudah dioperasikan. Arti atau makna social computing lebih luas dari  Web 2.0 atau Internet 2.0 sebab kedua istilah terakhir ini lebih merupakan versi terakhir dalam perubahan teknologi Internet, sementara social computing dapat dipakai untuk trend perubahan itu sendiri. Termasuk dalam trend ini adalah segala yang terjadi saat ini, berupa blogs, podcasts, wikis,  situs lelang barang (auction web sites), online games, VoIP dan peer-to-peer services   – semuanya memanfaatkan fasilitas koneksi global Internet menghubungkan orang dan isi informasi (content). 

Menurut  Pascu dan kawan-kawan (2008),  salah satu ciri khas aplikasi-aplikasi social computing adalah semakin kuatnya keterlibatan pengguna akhir (end-users) dalam proses produksi informasi, pengetahuan, dan inovasi.  Jika sebelumnya ada pemisahan yang jelas antara “produsen” dan “konsumen” informasi, maka kini pemisahan itu semakin mengabur.  Pemikir masyarakat informasi,  Alvin Toffler, menengarai gejala ini 20 tahun yang silam ketika ia menggunakan istilah  prosumer dalam industri informasi. Dalam social computing, pengguna atau konsumen adalah sekaligus pemasok isi (content). Aplikasi-aplikasi social computing seperti blogs, podcast, wikipedia, YouTube, dan sebagainya, memudahkan orang saling betukar dan saling memakai tulisan, audiovisual, dan alamat kontak. Keadaan ini langsung mengubah total hubungan antara “produsen” dan “konsumen” dalam konstalasi industri media.

Hal lain yang harus juga segera disimak adalah peran pengguna atau konsumen dalam mendukung distribusi isi dan jasa informasi. Pada sebuah peer-to-peer networks dan wifi sharing, pengguna atau konsumen sebenarnya berperan sebagai bagian dari “transportasi”  isi dan jasa tersebut; mereka ikut menjadi distributor dari sebuah isi informasi. Bahkan di eBay, si pengguna adalah tukan ngepak dan ngirim barang juga :-).    Tambahan lagi, seorang pengguna atau konsumen juga memainkan peran penting dalam menemukan, memilih, dan menyaring isi dan jasa informasi. Berbagai search engine sudah lama memanfaatkan kenyataan ini dengan berupaya menggalang  penilaian oleh masyarakat tentang seberapa dibutuhkannya sebuah situs. Situs-situs wiki  juga bergantung pada masyarakat untuk mengevaluasi dan memilih kualitas isinya. Demikian pula teknologi tagging sudah semakin sering dijadikan cara berbagi selera (taste-sharing) antar anggota masyarakat. 

Fenomena ini meluas ke segala pelosok dunia, menerobos batas-batas budaya. Tidaklah heran jika para akademisi dan pihak industri sekarang sedang bahu-membahu mengamati dan mencari-tahu lebih banyak, apa yang sesungguhnya terjadi di Internet ini. Dalam situs mereka (http://www.asis.org/Conferences/SCS08/SCS08.html) American Society for Information Science and Technology (ASIS&T) memakai istilah social software and computing sebagai penggerak teknologi Web 2.0.  Mereka juga menggunakan istilah social networking services (jasa berbasis jaringan sosial) yang melahirkan ciri-ciri baru dalam hal privacy, identitas dan manajemen hubungan antar manusia. Mereka percaya bahwa teknologi browser dan mobile devices akan melahirkan apa yang mereka sebut “kehadiran dan konektivitas tanpa batas” (ubiquitous connectivity and presence) yang akan mengubah total konsep sosial-budaya dan bisnis di seluruh dunia. 

Secara khusus, di dunia akademik sebenarnya juga sudah ada semacam konsentrasi penelitian yang disebut social informatics, yaitu: 

The interdisciplinary study of the design, uses and consequences of information technologies that takes into account their interaction with institutional and cultural contexts. [baca selengkapnya di : http://www.dlib.org/dlib/january99/kling/01kling.html].

Salah satu situs pendukung studi khusus ini [http://rkcsi.indiana.edu/index.php/about-social-informatics] menjelaskan lebih lanjut bahwa Social Informatics (SI) merupakan sekumpulan penelitian dan studi yang mempelajari aspek-aspek sosial dari komputerisasi termasuk peran teknologi informasi dalam perubahan sosial dan organisasi. Penelitian-penelitian SI juga berkonsentrasi pada  bagaimana pemanfaatan teknologi informasi dipengaruhi oleh nilai dan praktik-praktik sosial-budaya di sebuah masyarakat.  Di dalam kajian-kajian SI terdapat cabang-cabang khusus seperti dampak sosial dari penerapan komputer (social impacts of computing), analisis sosial terhadap komputerisasi (social analysis of computing), kajian-kajian  komunikasi berperantaraan komputer  (computer-mediate communication alias CMC), kebijakan informasi, informatika organisasi (organizational informatics), informatika interpretif (interpretive informatics), dan sebagainya.

Di dunia perpustakaan dan informasi, social computing dan social informatics jelas sekali memengaruhi pemikiran dan praktik dalam Perpustakaan Digital (digital libraries), khususnya dalam hal peran “orang ketiga”  di antara produsen dan konsumen informasi. Model-model Perpustakaan Digital, misalnya sebagaimana yang terlihat di Model OAIS, jelas sekali berupaya menegaskan peran-peran baru yang dapat dimainkan “orang ketiga” ini. Di dalam kondisi “tradisional” ketika format informasi didominasi oleh barang-barang tercetak, peran pustakawan dan profesi informasi jelas sekali berada di antara produsen dan konsumen. Saat ini, dalam kondisi social computing yang sudah melebur batas antara produsen dan konsumen informasi, peran pustakawan dan profesi informasi itu perlu ditinjau kembali. Jika dahulu timbul kesan bahwa pustakawan dan profesional informasi condong ke konsumen, maka sekarang kesan itu harus disesuaikan dengan kenyataan bahwa si konsumen dapat juga sekaligus berperan sebagai produsen.

Dalam keadaan seperti itu, mungkin saja “orang ketiga” tidak lagi diperlukan sebagai “perantara” melainkan lebih sebagai “penengah”. Artinya, pustakawan bukan lagi pihak yang berada di antara produsen dan pengguna informasi dalam posisi yang jelas, melainkan sebagai bagian dari hubungan keduanya: menjadi pihak yang terus menerus memperlancar hubungan antara keduanya, atau bahkan sesekali menjadi salah satunya. Seorang pustakawan akhirnya juga menjadi produsen dan konsumen informasi. Posisi ini, tentu saja, menjadi amat sangat menantang!

Bacaan:

Pascu, C., et al. (2008), “Social computing: implications for the EU innovation landscape” dalam Foresight : the Journal of Futures Studies, Strategic Thinking and Policy. Vol. 10 no. 1; hal. 37-52

Posted in Kajian Pemakai, Masyarakat Informasi, Organisasi | Dengan kaitkata: , , | 7 Comments »

Mencari dan Menjaring di Internet

Posted by putubuku pada Mei 11, 2008

Gambar di sebelah ini adalah sebuah model yang diusulkan Savolainen (2001) untuk memahami kemampuan (atau ketidak-mampuan) seseorang dalam menemukan informasi di sebuah jaringan komputer. Dalam konteks keberaksaraan (literasi) informasi, model ini menjadi penting bagi upaya pustakawan dan manajer informasi untuk membantu para pengguna perpustakaan atau sistem informasi. Kita tahu, bahwa saat ini jaringan komputer, khususnya dalam bentuk Internet, adalah salah satu sumber utama bagi banyak orang, sekaligus juga merupakan sumber yang sering disalah-gunakan dan disalah-artikan.

Saat ini, kompetensi seseorang dalam memanfaatkan jaringan komputer ketika ia sedang membutuhkan informasi menjadi salah satu faktor penting di sekolah, kampus, maupun di tempat kerja. Tidak saja seseorang perlu ‘melek informasi’ (information literate), tetapi juga harus ‘melek jaringan’ (network literate). Menurut Savolainen, khusus dalam kegiatan menemukan informasi (information seeking), maka pemanfaatan jaringan ini sangat dipengaruhi oleh setidaknya 4 hal, yaitu:

  1. Situasi dan tujuan tindakan atau upaya menemukan informasi itu,
  2. Kriteria yang digunakan seseorang dalam memilih saluran komunikasi,
  3. Pengetahuan seseorang tentang sumber informasi yang tersedia,
  4. Hambatan yang mungkin timbul ketika seseorang mengakses Internet

Lalu bagaimana kita dapat memahami apa yang terjadi pada diri seseorang ketika ia melanglang dunia cyber di Internet (dan bahkan tersesat di dalamnya)? Savolainen mengusulkan penggunaan teori sosial-kognitif buatan Albert Bandura (1986) untuk membedah persoalan ini. Teori Bandura ini didasarkan pada pandangan bahwa lingkungan dan konteks dari sebuah perilaku merupakan faktor yang saling berkait. Perilaku seseorang di satu situasi tertentu akan dipengaruhi oleh faktor situasional dan kontekstual. Sebaliknya, perilaku itu juga mempengaruhi situasi dan konteks di mana seseorang berperilaku. Jadi, ada baku-kait (reciprocal relationships) antara situasi, konteks, dan perilaku.   yang sebaliknya juga dipengaruhi oleh perilaku.

Teori sosial kognitif secara khusus menganggap bahwa perilaku manusia dituntun oleh insentif internal, yang sebagian besarnya tertanam di dalam aktivitas kognitif (di benak manusia). Khususnya lagi, perilaku manusia dituntun oleh harapan-harapan (expectancies). Ada dua harapan yang disorot secara khusus oleh Bandura dan dianggap relevan oleh Savolainen untuk menjelaskan perilaku informasi seseorang di Internet.

Pertama adalah harapan seseorang yang berkaitan dengan hasil tindakannya. Harapan ini merupakan hal yang penting sebab adalah wajar sekali jika seseorang lebih cenderung melakukan perilaku yang ia percaya akan memberikan hasil baik bagi dirinya. Kedua adalah rasa percaya seseorang terhadap ‘self-effifacy‘ berperan amat penting dalam perilaku seseorang. Kata efficacy di sini berarti kapasitas atau kemampuan seseorang untuk menimbulkan efek tertentu dari perbuatannya. (lihat http://www.websters-online-dictionary.org/definition/efficacy)

Menurut Bandura, ‘perceived self-efficacy’ adalah gambaran seseorang tentang kemampuannya sendiri untuk melakukan sesuatu perbuatan yang kemudian akan mempengaruhi kejadian-kejadian dalam hidup mereka. Gambaran tentang self-efficacy ini menentukan bagaimana seseorang merasa, berpikir, dan berperilaku.

Jika tertarik pada teori-teori Bandura, silakan tengok situs-situs ini:

  1. http://condor.admin.ccny.cuny.edu/~hhartman/SOCIAL%20COGNITIVE%20APPROACH%20TO%20PERSONALITY%20ALBERT%20BANDURA%20(1925-).htm (berisi ringkasan teori)
  2. http://webspace.ship.edu/cgboer/bandura.html (biografi ringkas Bandura)
  3. http://www.des.emory.edu/mfp/BanEncy.html (teori self efficacy).

Savolainen mengaitkan teori self-efficacy ini dengan keterampilan berjaringan, sebab sangat relevan untuk situasi ketika seseorang belum terbiasa menggunakan Internet untuk menemukan informasi, walau sudah tertarik atau berminat untuk menggunakannya. Teori tentang self-efficacy ini juga relevan untuk menjelaskan mengapa ada pengguna awal yang belum nyaman dan belum yakin kepada kemampuan mereka sendiri dalam menemukan informasi di Internet.

Hasil kegiatan atau performance outcome merupakan faktor penting dalam teori self-efficacy. Kesuksesan tentunya menaikkan gambaran seseorang tentang self-efficacy, dan sebaliknya kegagalan membuat nilai self-efficacy itu merosot. Berdasarkan teori Bandura itulah, Savolainen menawarkan sebuah model kompetensi jaringan yang bersifat kontekstual sebagaimana terlihat di gambar di atas. Dalam model tersebut, kompetensi jaringan dianggap sebagai bagian integral dari tindakan penemuan informasi, dan merupakan faktor yang mempengaruhi sekaligus dipengaruhi oleh tindakan itu.

Dalam model tersebut Savolainen menekankan kaitan antara berbagai faktor utama. Ia juga mengingatkan bahwa penggunaan Internet selalu terjadi di konteks sosial-kultural tertentu, misalnya tempat kerja, di sekolah,  atau bahkan di tempat leha-leha. Berbagai faktor saling berkait secara timbal balik. Kompetensi jaringan – sebagai kombinasi dari ‘knowing that’ (paham) dan ‘knowing how’ (terampil)- ikut ditentukan oleh keyakinan tentang self-efficacy. Terutama di dalam diri para pengguna awal, kompetensi sangat ditentukan oleh seberapa percaya-diri seseorang tentang kemampuannya menggunakan komputer dan mencari informasi.

Lebih khusus, model ini menyatakan bahwa pengalaman menemukan informasi dari lingkungan jaringan dipengaruhi oleh harapan tentang hasilnya. Pengalaman menggunakan jaringan akan menimbulkan reaksi emosi, baik berupa kenyamanan maupun ketegangan atau kegelisahan. Adalah wajar bahwa pengalaman yang sukses akan mempengaruhi self-efficacy dan harapan keberhasilan di masa depan. 

Bacaan:

Savolainen, R. (2001), “Network competence and information seeking on the Internet”, Journal of Documentation, vol. 58 no. 2, hal. 211-226.  

Posted in Kajian Pemakai, Kognisi, Teori | Dengan kaitkata: | 1 Comment »