Ilmu Perpustakaan & Informasi

diskusi dan ulasan ringkas

Posts Tagged ‘Komunikasi’

Menemukan Informasi, Tanpa Bertemu Muka

Posted by putubuku pada Juni 26, 2008

Gejala dan kebiasaan menggunakan komputer untuk berkomunikasi biasa disebut CMC alias computer mediated communication (komunikasi yang diperantarai oleh komputer). Termasuk dalam CMC adalah kebiasaan menggunakan Internet, seperti mengirim e-mail, chatting, menjadi anggota mailing list, browsing, googling, dan sebagainya.

Penelitian tentang perilaku manusia dalam CMC pun belakangan marak, terutama yang ingin menyelidiki pengaruh teknologi terhadap hubungan antar manusia dan persepsi seseorang terhadap orang lainnya. Penelitian-penelitian ini menjawab rasa penasaran tentang perbedaan antara CMC dan komunikasi tanpa perantara (face to face). Aspek yang menjadi fokus penelitian semacam ini adalah interaksi sosial antar manusia.

Konsentrasi pada interaksi sosial menyebabkan penelitian-penelitian tersebut lebih banyak menekankan aspek pertukaran informasi (information exchange), dan dengan demikian lebih banyak dianggap sebagai studi tentang komunikasi.

Apakah dalam interaksi melalui CMC tidak ada perilaku yang secara khusus berkaitan dengan penemuan dan pencarian informasi (information seeking and searching)? Nah, pertanyaan inilah yang antara lain coba dijawab oleh Ramirez dan kawan-kawan (2002). Penelitian mereka dapat dijadikan salah satu contoh penelitian bidang ilmu perpustakaan dan informasi.

Sebelum menukik ke permasalahan spesifik tentang perilaku mencari dan menemukan informasi, Ramirez dan kawan-kawan menerima terlebih dahulu asumsi dasar tentang CMC, yaitu sebuah situasi komunikasi yang mengurangi peluang seseorang untuk menangkap tanda-tanda komunikasi dari orang yang terlibat komunikasi dengannya. Ini biasa disebut dengan kondisi “reduced cues“.

Maksudnya, dalam komunikasi di Internet, terutama jika menggunakan teks (e-mail, chat tanpa web-cam, dan mailing list), seseorang tidak dapat menangkap gerak-gerik, raut muka, nada suara, dan hal-hal semacam itu. Dalam kondisi komunikasi yang minim tanda-tanda personal tentang orang lain, maka seseorang terpaksa mengandalkan kemampuan kognitifnya sendiri, dan lebih berkonsentrasi kepada dirinya sendiri.

Pada saat yang sama, seseorang yang terlibat dalam komunikasi lewat Internet juga terdorong untuk selalu mencari sebanyak mungkin indikasi tentang orang lain yang diajaknya berkomunikasi. Setidaknya, ia akan berusaha mengetahui, dari kelompok sosial manakah orang lain yang berkomunikasi dengannya itu. Di ruang chat, seringkali seseorang menghabiskan banyak waktu untuk memastikan siapa gerangan “lawan chat”-nya dengan bertanya tentang usia, lokasi, jenis kelamin, apakah sudah bekerja, hobbinya apa, dan sebagainya.

Jadi, di tengah keterbatasan tanda-tanda personal, seseorang yang terlibat CMC akan mengandalkan tanda-tanda sosial. Ramirez dan kawan-kawan melihat peluang penelitian di keadaan komunikasi seperti ini. Mereka bertanya: bagaimana perilaku manusia ketika mereka berupaya memperoleh informasi tentang manusia lain?

Asumsi mereka, jika seseorang ingin memperoleh informasi tentang lawan bicaranya, ia akan berupaya mendapatkan informasi tersebut. Pada dasarnya, ini disebut sebagai upaya menemukan informasi (information seeking) yang akan diwujudkan dalam bentuk tindak-tanduk mencari informasi (information searching). Dengan asumsi ini, Ramirez dan kawan-kawan mempersempit fokus penelitian CMC yang berkategori penelitian komunikasi, ke penelitian perilaku informasi yang lebih dekat ke ilmu perpustakaan dan informasi.

Walau demikian, Ramirez dan kawan-kawan juga tidak mengganggap bahwa upaya mencari dan menemukan informasi merupakan tujuan akhir seseorang. Biar bagaimana pun, upaya mencari dan menemukan informasi berkaitan dengan tujuan yang lebih luas, seperti tujuan sosial (misalnya untuk pergaulan), emosional (misalnya untuk menghibur diri), dan instrumental (misalnya untuk menyelesaikan sebuah tugas). Hal ini tak ada bedanya, dalam situasi CMC maupun situasi komunikasi lainnya.

Sebagaimana halnya di segala bentuk komunikasi, Ramirez dan kawan-kawan juga melihat bahwa seseorang akan mengunakan beberapa strategi umum untuk mencari dan menemukan informasi. Tiga di antara strategi itu terjadi di segala bentuk komunikasi, yakni:

  1. Strategi interaktif, yakni strategi yang digunakan dalam interaksi dengan target komunikasi, untuk sebanyak mungkin memperoleh ciri-ciri dari pihak yang diajak berkomunikasi. Strategi ini dapat mengandung berbagai taktik, mulai dari “interogasi” secara halus, memancing pihak lain mengungkapkan diri dengan terlebih dahulu mengungkapkan diri sendiri, atau menjadikan suasana komunikasi serileks mungkin agar pihak lain secara sukarela mengungkapkan jatidirinya. Dalam CMC, strategi ini menjadi amat penting karena keterbatan dalam tanda-tanda sosial pihak lawan bicara.
  2. Strategi aktif, yakni strategi memperoleh ciri-ciri pihak lain, tanpa harus secara langsung melakukan kontak atau interaksi dengan yang bersangkutan. Biasanya, orang akan menggunakan sumber-sumber informasi tentang kelompok sosial, dengan asumsi bahwa yang bersangkutan adalah anggota kelompok tersebut. Atau, seseorang dapat mengontak orang-orang lain di sekitar target komunikasi. Menjadi anggota sebuah mailing list seringkali adalah bagian dari strategi untuk memahami kira-kira seperti apa atribut sosial orang yang menjadi target komunikasi, tentu dengan asumsi bahwa target tersebut juga adalah anggota mailing list.
  3. Strategi pasif, yakni strategi untuk secara diam-diam atau tak kentara (unobtrusive) mengamati target komunikasi dan mengumpulkan ciri-cirinya. Tentu saja, hal ini lebih mungkin dilakukan di dalam komunikasi tak bermedia. Dalam CMC, kegiatan mengamati target komunikasi ini terjadi ketika seseorang menerima CC (carbon copy) dari sebuah e-mail. Dengan menerima CC, ia sebenarnya berposisi sebagai “pengamat” dari komunikasi yang terjadi antara si pengirim e-mail dan orang yang dikirimi e-mail (yang ada pada kolom TO atau KEPADA). Demikian pula jika ia menerima forward e-mail. Ia mengamati “lalu lintas” percakapan antar pihak-pihak yang berada di kolom FROM dan TO.

Ramirez dan kawan-kawan menyatakan bahwa ketiga strategi di atas terjadi di semua situasi komunikasi, dan merupakan strategi dasar pula bagi kegiatan pencarian dan penemuan informasi dalam konteks CMC. Namun dalam situasi CMC, ada satu strategi yang sifatnya agak spesifik, yaitu strategi ekstraktif. Contohnya adalah ketika seseorang mengumpulkan berbagai posting di sebuah mailing list untuk membaca-baca isinya, dan menarik kesimpulan dari apa yang dibacanya. Kegiatan ini mungkin didahului oleh tindakan mencari berdasarkan topik tertentu, terutama jika mailing list tersebut memiliki fasilitas SEARCH.

Memang akan menarik sekali untuk mengamati bagaimana CMC mengubah perilaku manusia dalam berkomunikasi. Saat ini, ketika e-learning dan e-research sedang populer dibicarakan, pastilah amat relevan jika kita meneliti bagaimana murid, mahasiswa, guru, dan para peneliti menggunakan e-mail, mailing list, atau bahkan chat untuk kegiatan belajar dan mengajar. Apalagi kalau kita menyadari, teknologi-teknologi ini mungkin juga menyebabkan perbedaan perilaku antar generasi. Menarik sekali, misalnya, untuk meneliti: apakah guru dan murid berperilaku sama dalam menggunakan e-mail untuk mencari informasi tentang pengetahuan tertentu? Apakah perbedaan ini akan mempengaruhi hubungan guru dan murid dalam soal mempelajari suatu ilmu?

Bacaan:

Ramirez, A., et.al. “Information seeking strategy, uncertainty, and computer mediated communication” dalam Human Communication Research, vol 28 no. 2, hal. 213-228.

Posted in Ilmu informasi, Kajian Pemakai | Dengan kaitkata: , | 2 Comments »

Karena Berdialog, Maka Relevan

Posted by putubuku pada Juni 17, 2008

Secara fitrahnya, perpustakaan dan sistem informasi berkutat dengan persoalan relevansi. Memang, kata “relevansi” itu sendiri datang dari “orang-orang sistem”, terutama orang-orang yang mendalami information retrieval, tapi para pustakawan sejak lama juga sudah mengantisipasi isyu ini. Ingat saja salah satu wejangan ‘suhu’ Ranganathan tentang ‘every book its reader‘. Di frasa ini ada keyakinan bahwa setiap orang punya buku yang cocok untuknya. Bahkan kita dapat secara dramatis mengatakan, untuk setiap bayi yang lahir di dunia ini ada sebuah buku terbit. Kelak di suatu masa, bayi itu akan membaca buku yang cocok untuknya.

Persoalan relevansi sudah dibahas di mana-mana, termasuk di blog saya yang terdahulu (lihat di sini). Secara lebih spesifik, persoalan relevansi yang berkaitan dengan ketepatan pencarian (dikenal dengan ukuran recall and precision) juga sudah dibahas (lihat di sini). Kedua tulisan tersebut menjelaskan relevansi sebagai sebuah ukuran (measurement), dan ukuran ini dikenakan kepada sebuah kinerja sistem. Dengan kata lain, ukuran ini biasanya datang dari sisi luar sebuah sistem, sebab itu dapat pula disebut sebagai ukuran eksternal.  

Secara konseptual, maka ukuran relevansi yang eksternal ini punya satu kelemahan penting. Dalam konsep relevansi, sebuah dokumen atau buku dianggap relevan jika sesuai dengan kebutuhan pengguna. Kesesuaian ini kemudian ditetapkan sebagai sebuah ukuran kuantitatif yang tetap. Dalam teknik information retrieval cara penetapan ukuran kesesuaian ini seringkali linear (satu arah). Seseorang memasukkan pertanyaan (query) ke sebuah sistem, lalu sistem memberikan jawaban. Berdasarkan jawaban ini dilakukan penghitungan seberapa relevan dokumen yang telah ditemukan oleh sistem.

Konsep linear di atas mengandaikan bahwa sebuah query sudah pasti mencerminkan kebutuhan pengguna. Di sinilah salah satu titik terlemah dari ukuran relevansi eksternal. Mesin dan sistem komputer terpaksa menerima query apa adanya dan tak punya pilihan selain mendaulat si pengguna sebagai pihak yang paling tahu apa yang dibutuhkannya, dan tahu pula bagaimana menyampaikan permintaan yang akurat sekaligus jelas.

Alas, tak semua pengguna tahu bagaimana bertanya dengan baik, sebagaimana halnya tak semua anak-anak tahu bagaimana meminta manisan kepada Ibunya tanpa merengek-rengek.

Dalam perkembangan pemikiran tentang relevansi selanjutnya, muncul pemikiran untuk menanggulangi persoalan akibat sifat komunikasi yang linear antara manusia dan komputer ini. Muncul pemikiran tentang kemungkinan mengubah komunikasi satu arah alias monolog yang selama ini menjadi dasar bagi perhitungan relevansi eksternal. Tentu saja, kandidat paling pas untuk menggusur monolog adalah dengan mengedepankan dialog.

Toh, dialog adalah fitrah kepustakawanan pula! Demikianlah menurut Budd (2004), teori kritis dari filsuf Jerman, Jugen Habermas, dapat digunakan untuk memahami relevansi yang berdasarkan karakteristik dasar komunikasi manusia. Kehidupan yang manusiawi tentu saja tak berisi monolog belaka, melainkan sebenarnya penuh dengan dialog. Salah satu pandangan Habermas tentang sifat dialogis dari komunikasi antar manusia dapat dijadikan patokan. Habermas pernah menyatakan tentang hubungan tripartit (melibatkan tiga hal) dalam komunikasi. Ia mengatakan, “Seorang pembicara mencapai kesepahaman dengan orang lain tentang sesuatu” (Nah, ada tiga hal di situ: pembicara, orang lain, dan sesuatu).

Selain itu Habermas menekankan pada keberadaan “dunia sosial” yang dihuni bersama-sama oleh banyak orang, sehingga menurutnya komunikasi bukanlah proses linear (garis lurus) melainkan sebuah dinamika dan kekuatan transformatif yang menghasilkan kesepahaman. Secara penuh, Budd mengutip wejangan Habermas:

The telos of reaching understanding inherent in the structures of language compels the communicative actors to alter their perspective; this shift in perspective finds expression in the necessity of going from the objectivating attitute of the success-oriented actor, who seeks to effect something in the world, to the performative attitude of a speaker, who seeks to reach understanding with a second person about something.

Habermas percaya, hidup ini sebenarnya nyaman berkat komunikasi yang dialogis. Di dalam komunikasi dialogis, orang-orang akan mengganti-ganti perspektif, sebab struktur bahasa mengandung di dalamnya upaya mencapai kesepahaman. Adalah fitrah manusia pula untuk saling memahami. Kegiatan mengganti-ganti perspektif ini merupakan usaha memahami, dan akan terlihat dalam bentuk perubahan posisi dari seseorang yang berorientasi pada pencapaian kepentingannya (dengan tujuan mempengaruhi dunianya) menjadi seseorang yang bersikap ingin mencapai kesepahaman tentang sesuatu dengan orang lain. Dari orang yang hanya mementingkan dirinya sendiri, menjadi orang yang menyadari kepentingan bersama.

Menurut Budd, pemikiran pemikir lainnya, yakni Mikhail Bakhtin, juga perlu dipertimbangkan. Bakhtin berhasil menjelaskan kualitas dialog. Menurutnya, semua komunikasi adalah monolog atau dialog. Komunikasi monolog tidak mengijinkan respon, tidak ada apropriasi oleh pembaca atau pendengar. Komunikasi dialogis membutuhkan interaksi antara pendengar dan pembicara, penulis dan pembaca.

Jenis komunikasi dialogis juga memerlukan pemahaman bahwa “bahasa bukanlah sebuah medium netral yang dapat dengan mudah jadi milik pribadi seorang penulis yang punya tujuan/kepentingan pribadi; sebab bahasa itu dihuni  -dihuni secara penuh (overpopulated)-  oleh tujuan/kepentingan orang-orang lain. Pemaksaan agar bahasa menjadi “pelayan” bagi kepentingan pribadi seseorang adalah amat sulit.

Berdasarkan Habermas dan Bakhtin di atas lah, Budd menganggap bahwa relevansi harus diletakkan dalam konteks komunikasi dialogis. Perpustakaan dan sistem informasi seyogyannya menciptakan dunia kehidupan yang lebih adem dan lebih tentrem lewat fasilitas dialog. Cobalah mencari di Google edisi Inggris, dan ketiklah “relevansi” niscaya Anda akan melihat tulisan “Did you mean: relevant“.

Google sedang membuka dialog dengan Anda.   
 

Bacaan:

Budd, J.M. (2004), “Relevance: language, semantics, philosophy” dalam Library Trends, vol 52 no 3, hal 447 – 462

Posted in Ilmu informasi, Information Retrieval, Kepustakawanan | Dengan kaitkata: | 2 Comments »